Halaman

Senin, 05 Februari 2018

politisi LGBT (Lagak Gila Banyak Tingkah)



politisi  LGBT (Lagak Gila Banyak Tingkah)

Ing sawijining dina, tutur ki dalang Sobopawon mengawali kisah.

Penonton tanpa komando menyahut : “ono dino, ono upo”. Ada hari, ada nasi. Suasana hening sejenak. Menduga apa lanjutan kisah. Banyak penonoton yang merasa mampu menebak kalannya cerita. Khususnya bagaimana dengan babak akhir.

Wayang politik Nusantara sedang sibuk. Kata yang empunya negara, sedang ada hajatan pilkada serentak 2018. Nilai jualnya, daya tariknya, karena menentukan peta politik dan nasib tahun politik 2019.

Perilaku yang dipertontonkan oleh manusia politik – tepatnya wayang politik – menampilkan menu yang tidak dibutuhkan rakyat. Antar parpol yang jagonya maju, atau mendukung jago lawan politik, sepertinya sedang rembug serius. Rembug politik tak jauh dari arisan kekuasaan. Sesama petugas partai dilarang saling berebut kursi yang sama.

Mash terjadi dan memang ciri dasar demikrasi adalah adanya politik dinasti, politik keluarga. Sampai sejak pilkada serentak awal, mendagri tak menduga akan ada calon tunggal.  Agar tampak cerdas, di pilkada serentak 2018, oknum mendagri mewacanakan pati aktif Polri menjabat gubernur.

Alasan rawan politik, sebagai dasar di tahun politik 2019, pemilu legislatif serentak dengan pilpres, mendagri bisa dijabat oleh unsur militer/polisi.

Penonton menunggu babak atau adegan goro-goro.

Ki dalang sengaja tak mementaskan goro-goro. Karena sejak awal memang sudah sarat dengan ikhwal goro-goro. Kan sudah disebut di atas, asas gotong royong-gotong royong menjadi andalan parpol. Siapa menggotong siapa meraih kursi,

Apalagi di tahun 2019, partai politik ber-DNA babi (banyak bicara) atau ideologi asing, unsur asing, komponen asing akan membabi buta.

Namanya politik, jangan ditakar dengan ukuran moral. Baik-buruk dan/atau benar-salah ditentukan suara mayoritas. [HN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar