Halaman

Kamis, 22 Februari 2018

Orang Gila Mengincar Ulama, Manusia Waras Mengabaikan Ulama



Orang Gila Mengincar Ulama, Manusia Waras Mengabaikan Ulama

Hanya terjadi di bumi Pancasila. Ketika ulama mendapat perhatian khusus, memperoleh perlakuan tak biasa, menerima posisi sebagai obyek dari pihak yang berwenang, penguasa, pemerintah, penyelenggara negara, pejabat publik.

Peran klasik ulama memang tak jauh dari perspektif, diménsi, matra keagamaan. Secara historis, akumulasi peran klasik ini menjadi peran sentral, dalam mewujudkan ketahanan akidah, iman, ketauhidan dan rasa keislaman umat Islam. Memperkuat landasan, dasar, pondasi umat Islam yang hidup di negara Pancasila yang serba multi.

Sejak zaman penjajahan oleh bangsa asing di bumi Nusantara, ulama menjadi “sasaran tembak” penguasa dan/atau pengusaha. Modus ini berlanjut ke sistem pemerintah yang berasaskan kekuasaan ada di tangan pemenang pesta demokrasi.

Pernah terjadi, ulama sebagai profesi yang harus mempunyai sertiikasi. Sehingga laik beroperasi sesuai sila-sila Pancasila. Daya pantau penguasa dipermudah dengan menetapkan agar khotbah jum’at dibakukan, diseragamkan.

Tak salah jika cara merebut kekuasaan secara kontitusional dengan mengandalkan berhala reformasi 3 K (kuasa, kuat, kaya). Norma ketimuran berujar jangan menakar kadar politik dengan kaca mata moral.

Memang kehidupan berbangsa, bernegara, bermasyarakat tak bisa idpisahkan dengan pelaksaan praktik agama apapun yang ada. Jika terjadi tirani minoritas karena kekuatan ekonomi terhadap mayoritas populasi, sebagai pratanda penguasa di bawah kendali manusia ekonomi, pelaku usaha.

Akhir cerita, berkat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang mampu menyalip zamannya, menjadikan manusia hidup di alam tanpa batas waktu, tempat dan ruang.

Bukannya lantas manusia memasuki fase anti-sosial. Karena dengan duduk manis di kamar, bisa kontak dengan siapa saja, untuk urusan apa saja. Refleksi, efek samping dari manfaat unggulan TIK, manusia sudah tidak gagap teknologi yang berdampingan dengan memposisikan diri sebagai budak teknologi.

 Ada ujaran anak bangsa pribumi kali padha ilang kedungé, pasar ilang kumandengé,

Jangan heran, jika bagaimana hubungan anak zaman serba bablas denga orang tuanya. Di tingkat rumah tangga bangsa, bagaimana sikap pemenang pesta demokrasi terhadap lawan politik. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar