Orang Gila Mengincar Ulama, Manusia Waras Mengabaikan Ulama
Hanya terjadi di bumi
Pancasila. Ketika ulama mendapat perhatian khusus, memperoleh perlakuan tak
biasa, menerima posisi sebagai obyek dari pihak yang berwenang, penguasa, pemerintah,
penyelenggara negara, pejabat publik.
Peran klasik ulama
memang tak jauh dari perspektif, diménsi, matra keagamaan. Secara historis,
akumulasi peran klasik ini menjadi peran sentral, dalam mewujudkan ketahanan
akidah, iman, ketauhidan dan rasa keislaman umat Islam. Memperkuat landasan,
dasar, pondasi umat Islam yang hidup di negara Pancasila yang serba multi.
Sejak zaman penjajahan
oleh bangsa asing di bumi Nusantara, ulama menjadi “sasaran tembak” penguasa
dan/atau pengusaha. Modus ini berlanjut ke sistem pemerintah yang berasaskan
kekuasaan ada di tangan pemenang pesta demokrasi.
Pernah terjadi, ulama
sebagai profesi yang harus mempunyai sertiikasi. Sehingga laik beroperasi
sesuai sila-sila Pancasila. Daya pantau penguasa dipermudah dengan menetapkan
agar khotbah jum’at dibakukan, diseragamkan.
Tak salah jika cara
merebut kekuasaan secara kontitusional dengan mengandalkan berhala reformasi 3
K (kuasa, kuat, kaya). Norma ketimuran berujar jangan menakar kadar politik
dengan kaca mata moral.
Memang kehidupan
berbangsa, bernegara, bermasyarakat tak bisa idpisahkan dengan pelaksaan
praktik agama apapun yang ada. Jika terjadi tirani minoritas karena kekuatan
ekonomi terhadap mayoritas populasi, sebagai pratanda penguasa di bawah kendali
manusia ekonomi, pelaku usaha.
Akhir cerita, berkat
kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang mampu menyalip zamannya,
menjadikan manusia hidup di alam tanpa batas waktu, tempat dan ruang.
Bukannya lantas manusia
memasuki fase anti-sosial. Karena dengan duduk manis di kamar, bisa kontak
dengan siapa saja, untuk urusan apa saja. Refleksi, efek samping dari manfaat
unggulan TIK, manusia sudah tidak gagap teknologi yang berdampingan dengan
memposisikan diri sebagai budak teknologi.
Ada ujaran anak bangsa pribumi kali padha ilang kedungé, pasar ilang kumandengé,
Jangan heran, jika
bagaimana hubungan anak zaman serba bablas denga orang tuanya. Di tingkat rumah
tangga bangsa, bagaimana sikap pemenang pesta demokrasi terhadap lawan politik.
[HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar