musuh
rakyat vs sahabat pejabat
Ketemu pirang perkara (baca bhs Jawa :
perkoro), sampai ada judul di atas. Jangan-jangan malah menjadi
perkara. Mencari penyakit. Tendensius, menghina pejabat yang masih menjabat.
Apa itu dan siapa yang disebut pejabat.
Ada sebutan pejabat negara, pejabat pemerintah, pejabat daerah.
Jangan dikaitkan dengan penjelasan
UU MD3, yaitu :
Yang dimaksud dengan “pihak yang berkaitan” adalah lembaga negara, pejabat negara/pemerintah,
badan hukum, organisasi masyarakat, warga negara Indonesia, dan/atau orang
asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
Mengacu yang tersurat di UU MD3,
pejabat negara tidak identik dengan pejabat pemerintah. Simaklah saja. Apalagi dengan
penyebutan warga masyarakat maupun warga negara, atau penduduk.
Pejabat bisa sebagai akronim dari “peranakan
Jawa Batak”. Beda dengan Puja Kesuma.
Kembali ke puisi :
Kita tidak tahu seberapa banyak dan besar rakyat
bersyukur, merasakan kehadiran negara.
Kita juga tidak tahu apakah Peraturan Daerah dan
Peraturan Kepala Daerah dimaksud, selama ini menjadi beban rakyat.
Kita semakin tidak tahu apakah tindak turun tangan
Pemerintah sebagai realisasi pro-rakyat, sebagai bukti peduli nasib rakyat yang
identik dengan sebutan politis : wong cilik.
Kita tidak tahu bahwa kita tidak tahu bahwasanya apakah
masih ada penyambung lidah rakyat. Jangan dikaitkan dengan manfaat wakil
rakyat.
Kita semakin serba tahu, apakah rakyat menduga di atas
daerah masih ada negara.
Kita semakin serba tidak tahu, apakah rakyat yang harus
merapat ke negara, atau sebaliknya (misal dengan blusukan tematik vs kunjungan
kerja).
Paket keterbelakangan, kemiskinan,
kebodohan menjadi musuh besar, lawan utama pemerintah Orde Baru. Pelita
(pembangunan lima tahun) demi pelita dicanangkan dan dipraktikkan. Bagi pihak
yang berseberangan dengan gaya pemerintah, mendapat stigma anti kemapanan. Menghadapi
“lawan politik”, penguasa Orde Baru menggunakan modus, kalau tidak mau
dirangkul, akan segera didengkul.
Beda dengan modus pendekatan
keamanan di éra mégatéga 2014-2019, cukup gebuk dulu, rembuk belakangan. Stigma
gerakan separatisme untuk menutupi gerakan dinasti politik yang jelas sudah
sampai skala pemerintah bayangan.
Jelas saja karena di éra mégatéga
2014-2019, poltik adalah penentu nasib bangsa. Maka pihak yang masuk kamus
“lawan politik” jangan dikasih ampun.
“Musuh negara” adalah pihak orang
dalam, konco dw, lingkar pertama, relawan, partisan, simpatisan, bolo
dupak, loyalis total jenderal yang merongrong wibawa negara. Soal tindak ulah
orang luar, bagian dari konspirasi, skenario dari investor politik negara lain,
hanya dianggap rekanan. Tidak masuk pasal menghina kepala negara.
Manusia ekonomi menjadi tirani
minoritas. Kekayaan segelintir mereka setara dengan kekayaan jutaan rakyat atau
bahkan rakyat Indonesia. Daya jangkau manusia ekonomi mampu mengendalikan
permainan manusia politik. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar