Halaman

Minggu, 18 Februari 2018

musuh rakyat vs sahabat pejabat



musuh rakyat vs sahabat pejabat

Ketemu pirang perkara (baca bhs Jawa : perkoro), sampai ada judul di atas. Jangan-jangan malah menjadi perkara. Mencari penyakit. Tendensius, menghina pejabat yang masih menjabat.

Apa itu dan siapa yang disebut pejabat. Ada sebutan pejabat negara, pejabat pemerintah, pejabat daerah.

Jangan dikaitkan dengan penjelasan UU MD3, yaitu :
Yang dimaksud dengan “pihak yang berkaitan” adalah lembaga negara, pejabat negara/pemerintah, badan hukum, organisasi masyarakat, warga negara Indonesia, dan/atau orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.

Mengacu yang tersurat di UU MD3, pejabat negara tidak identik dengan pejabat pemerintah. Simaklah saja. Apalagi dengan penyebutan warga masyarakat maupun warga negara, atau penduduk.

Pejabat bisa sebagai akronim dari “peranakan Jawa Batak”. Beda dengan Puja Kesuma.

Kembali ke puisi :

Kita tidak tahu seberapa banyak dan besar rakyat bersyukur, merasakan kehadiran negara.
Kita juga tidak tahu apakah Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah dimaksud, selama ini menjadi beban rakyat.
Kita semakin tidak tahu apakah tindak turun tangan Pemerintah sebagai realisasi pro-rakyat, sebagai bukti peduli nasib rakyat yang identik dengan sebutan politis : wong cilik.
Kita tidak tahu bahwa kita tidak tahu bahwasanya apakah masih ada penyambung lidah rakyat. Jangan dikaitkan dengan manfaat wakil rakyat.
Kita semakin serba tahu, apakah rakyat menduga di atas daerah masih ada negara.
Kita semakin serba tidak tahu, apakah rakyat yang harus merapat ke negara, atau sebaliknya (misal dengan blusukan tematik vs kunjungan kerja).

Paket keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan menjadi musuh besar, lawan utama pemerintah Orde Baru. Pelita (pembangunan lima tahun) demi pelita dicanangkan dan dipraktikkan. Bagi pihak yang berseberangan dengan gaya pemerintah, mendapat stigma anti kemapanan. Menghadapi “lawan politik”, penguasa Orde Baru menggunakan modus, kalau tidak mau dirangkul, akan segera didengkul.

Beda dengan modus pendekatan keamanan di éra mégatéga 2014-2019, cukup gebuk dulu, rembuk belakangan. Stigma gerakan separatisme untuk menutupi gerakan dinasti politik yang jelas sudah sampai skala pemerintah bayangan.

Jelas saja karena di éra mégatéga 2014-2019, poltik adalah penentu nasib bangsa. Maka pihak yang masuk kamus “lawan politik” jangan dikasih ampun.

“Musuh negara” adalah pihak orang dalam, konco dw, lingkar pertama, relawan, partisan, simpatisan, bolo dupak, loyalis total jenderal yang merongrong wibawa negara. Soal tindak ulah orang luar, bagian dari konspirasi, skenario dari investor politik negara lain, hanya dianggap rekanan. Tidak masuk pasal menghina kepala negara.

Manusia ekonomi menjadi tirani minoritas. Kekayaan segelintir mereka setara dengan kekayaan jutaan rakyat atau bahkan rakyat Indonesia. Daya jangkau manusia ekonomi mampu mengendalikan permainan manusia politik. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar