Méntal Paranoid Penguasa,
Jurus Kriminalisasi vs Jurus Orang Gila
Praktik demokrasi atau kedaulatan
rakyat di Indonesia sebagai penentu hubungan antara umara (penyelenggara negara,
pejabat publik, penguasa maupun pemerintah) dengan ulama sebagai répreséntatif umat Islam.
Jangankan umara, hubungan
pemerintah dengan rakyat yang mengunakan hak konstitusionalnya, acap hanya dalam
bentuk hubungan simbolik, formalitas. Ada berbagai kondisi yang menjadikan
rakyat merasa bahwa negara tidak hadir. Tak salah jika ada komponen masyarakat
yang sampai turun ke jalan memperjuangkan nasibnya sebagai warga negara.
Bahasa pembangunan nasional
memposisikan rakyat sebagai permanent underclass, uneducated people,
maupun masyarakat kurung beruntung (penduduk miskin, versi BPS). Pemerintah lebih
mengutamakan agar jalannya pelaksanaan hari-H pesta demokrasi berjalan sukses
sesuai asas luber (langsung, umum, bebas dan rahasia). Soal bagaimana jalannya
demokrasi pasca pelantikan penyelenggara negara, serahkan dan tergantung kepada
kekuatan pasar.
Bisa dikatakan, klimaks hubungan
antara umara dengan umara di periode pemerintah 2014-2019, pada saat tragedi penistaan
agama oleh gubernur DKI Jakarta saat itu. Keberpihakan pemerintah sangat nyata,
jelas dan terukur. Pemerintah mendadak gamang dengan kebijakannya. Pemerintah kehilangan
orientasi yang menerus.
Memasuki babak mempertahankan
kekuasaan agar lanjut ke periode kedua, jangan ributkan soal modus, rekayasa apapun
menjadi konstitusuional, sah dan legal. Pihak yang dicurigai sebagai cikal
bakal potensial lawan politik, pihak berseberangan akan dikenakan pasal “basmi
sebelum tunas”. Atau dengan pola gebug duluan, rembug belakangan.
Jadi, apapun yang terjadi pada
ulama atau umat Islam pada umumnya, bukan sebagai kejadian luar biasa. Juga bukan
sebagai perkara biasa di luar sistem hukum. Penguasa sudah siap dengan aneka
jurus mematikan. Umat Islam tetap merapatkan barisan. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar