Indonesia,
tatap ujung hidungmu
Kekuatan
dan postur fisik memang bukan syarat utama menjadi pemimpin. Kecuali pada
kelompok anak jalanan atau katakana semacam free man, manusia bebas atau
preman. Juara tunju klas berat dunia pun lahir dari jalan, bukan alumni sekolah
tinju.
Apa jadinya
jika seorang pimpinan kantor, di ruang kerja yang anggun, berbusana bak mau ke
pesta kondangan, tiba-tiba menyelonong masuk seorang preman. Keamanan kantor
sepertinya kalah nyali, apalagi sekretris dan penerima tamu.
Saat
kita menyetir mobil, berhenti karena lampu merah. Di samping kita tanpa permisi
seorang pengemis menongolkan wajah dekilnya, mata melotot penuh selidik tanpa
kata.
Paling
apes saat berkendera secara benar dan baik, karena berada di tempat yang bikin
apes, ada-ada saja masalah yang timbul. Tiba-tiba kena tilang atau kena palak
preman jalanan.
Bagaimana
reaksi kita sebagai rakyat yang kesehariannya hanya berkutat dengan urusan
masing-masing, tiba-tiba tanpa ba bi bu, penguasa setempat bikin ulah. Karena
selama ini hanya sibuk duduk manis di belakang meja kerjanya, ingin tampil
eksis dan penuh pesona serta citra diri.
Begitu
ada pejabat publik atau penyelengara negara, dengan modal mulut mampu membuat
gonjang-ganjing negara, seperti memicu dan memacu yang lain untuk berbuat yang
lebih. Ibarat bonek yang tanpa komando melempari bonek dari tim lawan.
Multiefek
dari kasus penistaan agama, dikarenakan Indonesia sedang terjebak episode paribasan “ati bengkong oleh oncong” (wong duwe niyat ala oleh
dalan).
Tentu beda dengan kaum pekerja/buruh yang turun ke jalan
untuk ujnuk rasa, unjuk raga pamer kekuatan massa. Karena bukan mufakat bulat,
terjadi aksi sweeping ke sesama senasib. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar