Halaman

Selasa, 25 Juli 2017

Aku, di antara satu Indonesia



Aku, di antara satu Indonesia

“Kereta api, dari kanan atau kiri?”. Pertanyaan yang saya lontarkan kepada 3 anak, saat tunggu di pelintasan sebidang jalur kereta api yang terkenal dengan tragedi Bintaro I dan tragedy Bintaro II. Waktu itu masih 5 tahunan sebelum reformasi 21 Mei 1998.

Anak sulung yang duduk di depan langsung menjawab, “Dari kanan”. Anak bungsu yang masih batita, yang duduk di jok belakang yang berhadapan, karena mobil jimny kangkrik, di belakang kursi kiri, dengan tenang seperti berbisik : “Dari kiri bapak.”

Anak nomor dua yang merangkap sebagai sulung kembar dua, yang berdiri dekat saya sambil membaca situasi, teriak tanpa pikir panjang : “Dari depan!”.

Anak sulung berkomentar : “Kalau dari depan, semua ketabrak”, sambil menahan geli mendengar jawaban adiknya yang seperti asal jawab. Karena dari dua jawaban yang ada, sudah dipakai semua. Terpaksa, memakai jawaban sendiri, alternatif sendiri. Sah-sah saja menurut logikanya.

Kejadian sekarang, di jalur kehidupan bangsa dan negara, tak akan lepas dari silang kata. Rakyat bukan dihadapkan pada dua pilihan yang bak makan buah simalakama. Lebih runyam dari itu.

Omong isinya, seolah di negeri ini ada dua koalisi, dua oposisi yang kontradiktif. Katanya, ada koalisi pro-pemerintah, tepatnya pro banget. Sisanya, koalisi entah pro siapa. Nyaris tiap 24 jam sekali, terjadi aplusan koalisi. Semua koalisi sepakat untuk tidak sepakat soal pembagian kekuasaan sebagai penyelenggara negara.

Ada yang betah duduk. Ada yang sekedar numpang nampang, numpang liwat. Ada yang maneuver siaga tunggu kalau ada kursi kosong, kursi tak bertuan.

Ingat beberan olahkata saya, dengan judul “kendil ngguling vs kursi njomplang”. Ada seklias cerita tentang kursi njomplang. Begini rwayatnya, ujar ki dalang Sobopawon. Konon, Indonesia adalah negara yang masih, sedang, selalu dan akan berkembang serta berkemajuan mengejar bayang-bayang masa lalu. Sibuk berangan-angan bisa mimpi di siang hari bolong. Sibuk lari di tempat mencari hari baik untuk bertindak.

Berkat ratio ULN terhadap PDB yang masih aman, masih di bawah 30%, belum setengah dari ketentuan hukum. Menjadikan NKRI bak negara tertinggal. Karena jika ratio ULN terhadap PDB bisa 60% dipastikan prestasi, kenerja Jokowi plus minus JK bisa secara sinerji berlipat ganda.

Jadi kawan, jika ada pihak yang berimprovisasi bak penguasa tunggal, adalah wujud pilihan kebijakan politik, kebijakan publik yang nyata-nyata lebih mengutamakan, mengedepankan kepentingan tertentu. Agar NKRI tetap eksis “di tengah peradaban dunia” dengan cara yang beradab, berkemajuan, dan berkepribadian politik. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar