Aku, di antara satu Indonesia
“Kereta
api, dari kanan atau kiri?”. Pertanyaan yang saya lontarkan kepada 3 anak, saat
tunggu di pelintasan sebidang jalur kereta api yang terkenal dengan tragedi
Bintaro I dan tragedy Bintaro II. Waktu itu masih 5 tahunan sebelum reformasi
21 Mei 1998.
Anak
sulung yang duduk di depan langsung menjawab, “Dari kanan”. Anak bungsu yang
masih batita, yang duduk di jok belakang yang berhadapan, karena mobil jimny
kangkrik, di belakang kursi kiri, dengan tenang seperti berbisik : “Dari kiri
bapak.”
Anak
nomor dua yang merangkap sebagai sulung kembar dua, yang berdiri dekat saya
sambil membaca situasi, teriak tanpa pikir panjang : “Dari depan!”.
Anak
sulung berkomentar : “Kalau dari depan, semua ketabrak”, sambil menahan geli
mendengar jawaban adiknya yang seperti asal jawab. Karena dari dua jawaban yang
ada, sudah dipakai semua. Terpaksa, memakai jawaban sendiri, alternatif
sendiri. Sah-sah saja menurut logikanya.
Kejadian
sekarang, di jalur kehidupan bangsa dan negara, tak akan lepas dari silang
kata. Rakyat bukan dihadapkan pada dua pilihan yang bak makan buah simalakama. Lebih
runyam dari itu.
Omong
isinya, seolah di negeri ini ada dua koalisi, dua oposisi yang kontradiktif. Katanya,
ada koalisi pro-pemerintah, tepatnya pro banget. Sisanya, koalisi entah pro
siapa. Nyaris tiap 24 jam sekali, terjadi aplusan koalisi. Semua koalisi
sepakat untuk tidak sepakat soal pembagian kekuasaan sebagai penyelenggara
negara.
Ada
yang betah duduk. Ada yang sekedar numpang nampang, numpang liwat. Ada yang maneuver
siaga tunggu kalau ada kursi kosong, kursi tak bertuan.
Ingat
beberan olahkata saya, dengan judul “kendil ngguling vs kursi
njomplang”. Ada seklias cerita tentang kursi njomplang. Begini
rwayatnya, ujar ki dalang Sobopawon. Konon, Indonesia adalah negara yang masih,
sedang, selalu dan akan berkembang serta berkemajuan mengejar bayang-bayang
masa lalu. Sibuk berangan-angan bisa mimpi di siang hari bolong. Sibuk lari di
tempat mencari hari baik untuk bertindak.
Berkat
ratio ULN terhadap PDB yang masih aman, masih di bawah 30%, belum setengah dari
ketentuan hukum. Menjadikan NKRI bak negara tertinggal. Karena jika ratio ULN
terhadap PDB bisa 60% dipastikan prestasi, kenerja Jokowi plus minus JK bisa secara
sinerji berlipat ganda.
Jadi
kawan, jika ada pihak yang berimprovisasi bak penguasa tunggal, adalah wujud
pilihan kebijakan politik, kebijakan publik yang nyata-nyata lebih
mengutamakan, mengedepankan kepentingan tertentu. Agar NKRI tetap eksis “di
tengah peradaban dunia” dengan cara yang beradab, berkemajuan, dan
berkepribadian politik. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar