Halaman

Sabtu, 15 Juli 2017

perilaku kurang layak dilakukan oleh orang yang dianggap layak



perilaku kurang layak dilakukan oleh orang yang dianggap layak

Aspek kejiwaan manusia Indonesia seolah tak ada korelasi dengan faktor ajar dan faktor didik. Asupan gizi, nutrisi atau suplemen herbal dan non-herbal malah terkadang diasumsikan sebagai faktor penentu bisa tidaknya seseorang menjadi sosok manusia seutuhnya.

Alam bawah sadar masih dianggap sebagai faktor penentu perilaku seseorang. Lingkungan dan pengalaman hidup bisa merubah yang bengkok menjadi lurus. Yang awalnya patut diduga berada di jalan yang benar, lurus, baik karena proses waktu dan usia, maka apa yang akan terjadi, terjadilah.

 Penyakit politik yang diidap oleh anak bangsa maupun putera asli daerah dikarenakan ybs tidak mengenal apa dan bagaimana jiwanya. Rangsangan melihat nikmat dunia menjadikan nalar politiknya berkembang dan bergerak bebas.

Memelihara jiwa agar sukses dunia akhirat, selain pertimbangan asupan gizi sesuai kebutuhan juga diperkaya dengan batasan halal dengan segala aspeknya. Eksistensi jiwa memang harus dirawat dan diruwat.

Tahap selanjutnya untuk tahu apa itu perilaku layak, dimulai dengan adab makan dan/atau minum sesuai standar agama Islam.

Bagaimana menjaga jiwa raga yang agar tetap dianggap layak. Kita mulai dari batasan tentang jiwa (nafs) di dalam diri manusia ada 4 macam, yakni ammarah, lawwamah, mardhiyah dan muthmainnah. Daya pengaruh 4 jiwa tadi sebagai dasar dalam aspek perilaku  manusia. Mulai dari berhubungan dengan Allah, maupun interaksi antar manusia, serta berbagai bentuk relasi dengan mahluk lainnya dan alam jagad.

Jiwa ammarah, kemudian dikenal dengan lema ‘marah’. Marah adalah rasa hati, salah satu varian nafsu, status proses jiwa pada kondisi tertentu yang berkonotasi negatif. Marah bisa mempengaruhi akal sehat, nalar, logika kemanusiaan.  

Dampak marah, antara lain mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan. Orang yang melakukan kejahatan karena kurang kesadaran lantaran sangat marah atau karena dorongan hawa nafsu.

Jiwa lawwamah. Di suku Jawa ada istilah aluamah.  Secara religius adalah jiwa yang selalu menyesali. Maksudnya, bila ia pernah berbuat kebaikan ia menyesal kenapa tidak bisa konstinyu. Atau lebih baik lagi. Mengacu terjemahan [QS Al Qiyammah (75) – 2] : “dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)”. Maksudnya: Bila ia berbuat kebaikan ia juga menyesal kenapa ia tidak berbuat lebih banyak, apalagi kalau ia berbuat kejahatan.

Rasa sesal semakin mengental jika tahu akan masuk golongan manusia yang merugi.

Jiwa mardhiyah adalah hati yang puas, karena telah mendapat petunjuk dan Allah meridhoi amal baiknya. Merasa puas dan bersyukur  atas segala nikmat yang telah dicurahkan Allah kepada kita. Ada ulasan bahwa kehidupan manusia berputar pada tiga poros: Syukur, Sabar, dan Istighfar. Seseorang takkan lepas dari salah satu dari tiga keadaan tsb.

Jiwa mutmainnah adalah jiwa yang tenang dan tenteram, karena beriman, dan selalu merasa dekat dengan Tuhan. Orang yang berjiwa tenang di dunia karena iman dan takwanya yang nantinya di akhirat berseri-seri wajah mereka. Serta ditegaskan kemuliaan yang diberikan Allah kepada orang yang berjiwa tenang. Orang-orang yang berjiwa muthmainnah (tenang) mendapat kemuliaan di sisi Allah.

Jadi, kita sebagai manusia atau orang . . . [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar