perilaku kurang layak
dilakukan oleh orang yang dianggap layak
Aspek kejiwaan manusia Indonesia
seolah tak ada korelasi dengan faktor ajar dan faktor didik. Asupan gizi,
nutrisi atau suplemen herbal dan non-herbal malah terkadang diasumsikan sebagai
faktor penentu bisa tidaknya seseorang menjadi sosok manusia seutuhnya.
Alam bawah sadar masih dianggap
sebagai faktor penentu perilaku seseorang. Lingkungan dan pengalaman hidup bisa
merubah yang bengkok menjadi lurus. Yang awalnya patut diduga berada di jalan
yang benar, lurus, baik karena proses waktu dan usia, maka apa yang akan
terjadi, terjadilah.
Penyakit politik yang diidap oleh anak bangsa
maupun putera asli daerah dikarenakan ybs tidak mengenal apa dan bagaimana
jiwanya. Rangsangan melihat nikmat dunia menjadikan nalar politiknya berkembang
dan bergerak bebas.
Memelihara jiwa agar sukses dunia
akhirat, selain pertimbangan asupan gizi sesuai kebutuhan juga diperkaya dengan
batasan halal dengan segala aspeknya. Eksistensi jiwa memang harus dirawat dan
diruwat.
Tahap selanjutnya untuk tahu apa itu
perilaku layak, dimulai dengan adab makan dan/atau minum sesuai standar agama
Islam.
Bagaimana menjaga jiwa raga yang
agar tetap dianggap layak. Kita mulai dari batasan tentang jiwa (nafs) di dalam diri manusia ada 4 macam, yakni ammarah,
lawwamah, mardhiyah dan muthmainnah. Daya pengaruh 4 jiwa tadi
sebagai dasar dalam aspek perilaku manusia.
Mulai dari berhubungan dengan Allah, maupun interaksi antar manusia, serta berbagai
bentuk relasi dengan mahluk lainnya dan alam jagad.
Jiwa ammarah, kemudian
dikenal dengan lema ‘marah’. Marah adalah rasa hati, salah satu varian nafsu, status
proses jiwa pada kondisi tertentu yang berkonotasi negatif. Marah bisa
mempengaruhi akal sehat, nalar, logika kemanusiaan.
Dampak marah, antara lain mengerjakan
kejahatan lantaran kejahilan. Orang yang melakukan
kejahatan karena kurang kesadaran lantaran sangat marah atau karena dorongan
hawa nafsu.
Jiwa lawwamah.
Di suku Jawa ada istilah aluamah.
Secara religius adalah jiwa yang selalu menyesali. Maksudnya, bila ia
pernah berbuat kebaikan ia menyesal kenapa tidak bisa konstinyu. Atau lebih
baik lagi. Mengacu terjemahan [QS Al Qiyammah (75) – 2] : “dan aku bersumpah
dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)”. Maksudnya: Bila ia
berbuat kebaikan ia juga menyesal kenapa ia tidak berbuat lebih banyak, apalagi
kalau ia berbuat kejahatan.
Rasa sesal
semakin mengental jika tahu akan masuk golongan manusia yang merugi.
Jiwa mardhiyah adalah hati
yang puas, karena telah mendapat petunjuk dan Allah meridhoi amal baiknya. Merasa puas dan
bersyukur atas segala nikmat yang telah
dicurahkan Allah kepada kita. Ada ulasan bahwa kehidupan manusia berputar pada
tiga poros: Syukur, Sabar, dan Istighfar. Seseorang takkan lepas dari salah
satu dari tiga keadaan tsb.
Jiwa mutmainnah
adalah jiwa yang tenang dan tenteram, karena beriman, dan selalu merasa
dekat dengan Tuhan. Orang yang berjiwa
tenang di dunia karena iman dan takwanya yang nantinya di akhirat berseri-seri wajah
mereka. Serta ditegaskan kemuliaan yang diberikan Allah kepada orang yang
berjiwa tenang. Orang-orang yang berjiwa muthmainnah (tenang) mendapat
kemuliaan di sisi Allah.
Jadi,
kita sebagai manusia atau orang . . . [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar