Halaman

Kamis, 13 Juli 2017

Dilema Ibu Pertiwi, Memindahkan Ibukota Negara vs Memperluas Gerbang Naga



Dilema Ibu Pertiwi, Memindahkan Ibukota Negara vs Memperluas Gerbang Naga

Mungkin karena masuk kategori shio Naga serta lahir sebagai bayi premature, maka penulis bergolongan darah AB. Diperkuat dengan perhitungan weton Jawa yang jumat kliwon, lahir pagi sekitar pukul 7, walau tanpa bukti akte kenal lahir. Kendati RS tempat kelahiran masih ada.

Disiplin imu formal perguruan tinggi yang akhirnya terlatih menterjemahkan angan-angan menjadi bentuk bangunan gedung atau bentuk fisik lainnya. Dominat mengolah kata menjadi kalimat. Rangkaian kalimat sebagai pengejawantahan atau refleksi dari apa yang dialami secara langsung maupun tak langsung.

Menulis memang harus tendensius. Kalau tidak akan terasa hambar, cemplang dan kurang cita rasa. Nyaris garing.

Dasar utama dan pertama wacana pemindahan ibukota NKRI, tentunya bukan karena faktor traumatik reklamasi pantai utara Jakarta serta kalkulasi politik 19 April 2017 yang jeblok, di luar nalar, akal, logika politik penguasa.

Peta politik nasional versi politisi “berbaju sipil” mengalami salah langkah yang fatal, dikarenakan hasil putaran kedua pilkada gubernur Jakarta, rabu 19 April 2017, di luar skenario mereka. Bandar politik atau investor politik dari negara paling bersahabat tentu tetap tak mau rugi. Mereka akan gigih menuntut kepada “kawan partai” yang selama ini sudah dibibit, dielus-elus, dinonabobokan untuk menguasai  NKRI  dimulai dengan menguasai jantungnya.

NKRI sudah semakin jauh tenggelam, terjebak, terperosok ke dalam ikatan moral perjanjian ideologi bilateral dengan negara paling bersahabat. Mau tak mau akhirnya NKRI harus memakai teknologi ideologi, bahan baku ideologi dan barisan sumber daya manusia seadanya dari negara yang katanya paling bersahabat.

Mungkin pula belum ada batasan ideal, dari aspek lokasi, posisi, potensi geografis dan luas wilayah adminsitratif dan/atau fungsional bagi ibukota negara.

Pendekatan yang penulis pakai adalah dengan fakta pengajaran dan pendidikan nasional. Pernah disinyalir kalau ‘penguasaan bahasa asing’ anak bangsa, putera daerah masuk kategori lemah. Sehingga tidak bisa go international. Namun sebaliknya, ‘penguasaan bangsa asing’ atas sendi kehidupan berbangsa, bernegara sangat kuat. Mulai dari jalur ekonomi dan perdagangan sebagai efek domino penjajahan oleh bangsa asing. Sekarang, investor politik yang dominan.

Jakarta masih bisa dikontrol secara fisik jika ada pertambahan penduduk. Misal dan contah akurat pada saat pasca Ramadhan. Di depan hidung Jakarta, pada poros tertentu, terpampang beberapa pintu gerbang naga. Mulai dari naga merah sampai naga abal-abal. Artinya, Jakarta dalam komunikasi, kontrol, kendali langsung oleh  ‘penguasaan bangsa asing’.

Mungkin, dengan boyongan ibukota negara ke kota Palangkaraya, dikuwatirkan jangan-jangan “dewa penjaga Nusantara” atau  dhanyang, dhemit sing baureksa ibukota ikut pindah. Secara kasat mata bukan pindah, boyongan malah memperkuat armada yang sudah ada.

Yang tidak mungkin, menurut RPJMN 2015-2019 “Arah Pengembangan Wilayah Pulau Kalimantan”, ditegaskan bahwa untuk mengurangi risiko serta dampak bencana, maka sasaran penanggulangan bencana di wilayah Kalimantan adalah kawasan pengembangan wilayah berisiko tinggi yaitu :  4 (empat) PKN (Kota Samarinda, Kota Pontianak, Kota Palangkaraya, dan Kota Tarakan). [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar