Dilema Ibu Pertiwi, Memindahkan
Ibukota Negara vs Memperluas Gerbang Naga
Mungkin karena masuk kategori shio
Naga serta lahir sebagai bayi premature, maka penulis bergolongan darah AB. Diperkuat
dengan perhitungan weton Jawa yang jumat kliwon, lahir pagi sekitar
pukul 7, walau tanpa bukti akte kenal lahir. Kendati RS tempat kelahiran masih
ada.
Disiplin imu formal perguruan tinggi
yang akhirnya terlatih menterjemahkan angan-angan menjadi bentuk bangunan
gedung atau bentuk fisik lainnya. Dominat mengolah kata menjadi kalimat. Rangkaian
kalimat sebagai pengejawantahan atau refleksi dari apa yang dialami secara
langsung maupun tak langsung.
Menulis memang harus tendensius. Kalau
tidak akan terasa hambar, cemplang dan kurang cita rasa. Nyaris garing.
Dasar utama dan pertama wacana pemindahan
ibukota NKRI, tentunya bukan karena faktor traumatik reklamasi pantai utara
Jakarta serta kalkulasi politik 19 April 2017 yang jeblok, di luar nalar, akal,
logika politik penguasa.
Peta politik nasional versi politisi “berbaju sipil” mengalami salah
langkah yang fatal, dikarenakan hasil putaran kedua pilkada gubernur Jakarta,
rabu 19 April 2017, di luar skenario mereka. Bandar politik atau investor
politik dari negara paling bersahabat tentu tetap tak mau rugi. Mereka akan
gigih menuntut kepada “kawan partai” yang selama ini sudah dibibit,
dielus-elus, dinonabobokan untuk menguasai
NKRI dimulai dengan menguasai
jantungnya.
NKRI sudah semakin jauh tenggelam, terjebak, terperosok ke dalam ikatan
moral perjanjian ideologi bilateral dengan negara paling bersahabat. Mau tak
mau akhirnya NKRI harus memakai teknologi ideologi, bahan baku ideologi dan
barisan sumber daya manusia seadanya dari negara yang katanya paling
bersahabat.
Mungkin pula belum ada batasan
ideal, dari aspek lokasi, posisi, potensi geografis dan luas wilayah adminsitratif
dan/atau fungsional bagi ibukota negara.
Pendekatan yang penulis pakai adalah
dengan fakta pengajaran dan pendidikan nasional. Pernah disinyalir kalau ‘penguasaan
bahasa asing’ anak bangsa, putera daerah masuk kategori lemah. Sehingga tidak
bisa go international. Namun sebaliknya, ‘penguasaan bangsa asing’ atas
sendi kehidupan berbangsa, bernegara sangat kuat. Mulai dari jalur ekonomi dan
perdagangan sebagai efek domino penjajahan oleh bangsa asing. Sekarang,
investor politik yang dominan.
Jakarta masih bisa dikontrol secara
fisik jika ada pertambahan penduduk. Misal dan contah akurat pada saat pasca
Ramadhan. Di depan hidung Jakarta, pada poros tertentu, terpampang beberapa
pintu gerbang naga. Mulai dari naga merah sampai naga abal-abal. Artinya,
Jakarta dalam komunikasi, kontrol, kendali langsung oleh ‘penguasaan bangsa asing’.
Mungkin, dengan boyongan ibukota negara
ke kota Palangkaraya, dikuwatirkan jangan-jangan “dewa penjaga Nusantara” atau dhanyang, dhemit sing
baureksa ibukota ikut pindah. Secara kasat mata bukan pindah,
boyongan malah memperkuat armada yang sudah ada.
Yang tidak mungkin, menurut RPJMN
2015-2019 “Arah Pengembangan Wilayah Pulau Kalimantan”, ditegaskan bahwa untuk
mengurangi risiko serta dampak bencana, maka sasaran penanggulangan bencana di
wilayah Kalimantan adalah kawasan pengembangan wilayah berisiko tinggi yaitu : 4 (empat) PKN (Kota Samarinda, Kota Pontianak,
Kota Palangkaraya, dan Kota Tarakan). [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar