Halaman

Rabu, 19 Juli 2017

Mimpi Besar Anak Bangsa, Putera Asli Daerah : Dijemput Paksa Jadi Presiden



Mimpi Besar Anak Bangsa, Putera Asli Daerah : Dijemput Paksa Jadi Presiden

Semula, yang mempunyai hak prerogatif mimpi besar bisa menjadi orang nomer satu di Republik Pancasila ini adalah anak cucu ideologis para pendiri bangsa. Rakyat, apalagi dengan kategori uneducated people, permanent underclass plus stigma miring yang diberlakukan oleh penguasa atas nama wibawa negara. Jangankan mimpi, uro-uro atau bahkan berangan-angan, berfantasi, berimajinasi apa dan siapa itu presiden, sudah layak dianggap terkena pasal makar.

Padahal syarat utama, pertama, dominan untuk menjadi pemimpi politik yang ulung nan adiluhung, adalah daya fantasi, daya imajinasi. Ibarat burung dalam sangkar yang tinggi, terbang berputar membubung tinggi. Seperti burung terperosok ke lubang sumur timba, terbang berputar bak tong setan mencapai permukaan, mulut sumur.

Rekam jejak kawanan parpolis, politisi kambuhan, karbitan/orbitan, kader jenggot, warisan politik yang pernah mendapat jatah kursi sebagai penyelenggara negara, malah semakin hidup di angan-angan politiknya. Pakai modal merasa bisa tampil di depan, mengatur lalu lintas negara.

Tiga ajaran kepemimpinan yang diwariskan Ki “Taman Siswa” Hajar Dewantara pun tak ketinggalan juga ikut difantasikan, diformulasi ulang.
1.                  Ajaran pertama yang berbunyi ing ngarso sung tulodo diubah menjadi ing ngarso aji mumpung kuoso vs mumpung aji kuoso.
2.                  Yang kedua berbunyi ing madyo mangun karso digubah menjadi ing madyo numpuk bondo sak kerso-kerso.
3.                  Terakhir atau  yang ketiga berbunyi tut wuri handayani mengalami proses revolusi mental menjadi tut wuri ngoyak nikmat donyo dibelani nganti mati.

Hebatnya, fantasi politik vs politik fantasi tidak mengenal perbedaan jenis kelamin. Bahkan kaum hawa pandai mendadak alim ketika alih status menjadi tersangka tipikor. Merasa dizalimi oleh pihak tetangga jika niat tulusnya jadi presiden lagi tidak terwujud. Sampai jual tangis pengharu-rasa disetiap kesempatan ucap dan cuap kata. Memamerkan jasa bapak moyangnya.

Kini, di paruh akhir periode mégatéga, mégabencana, mégakasus ini masih terjadi saling lomba mewujudkan mimpi besar.  [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar