Halaman

Sabtu, 29 Juli 2017

kekuasaan asbsolut vs kewenangan tanpa batas



kekuasaan asbsolut vs kewenangan tanpa batas

Betul, di UUD NRI 1945, sudah atau baru empat kali diubah. Disesuaikan dengan tuntutan dan tantangan berkemajuan NKRI. Tak salah kalau memanh hasil kerja tangan politik.

Tak heran, kalau kata dasar dan/atau kata asal ‘kuasa’ dan ‘wenang’ menjadi faktor pendinamisasi pasal-pasal perubahan.

Kondisi ini menyebabkan bahwa “kuasa” dan “wenang” menjadi modal dasar, modal awal, modal utama secara konstitusional. Kemanfaatannya, efektivitasnya – dengan takaran bagi kepentingan dan kebutuhan rakyat – maka pihak pengguna “kuasa” dan “wenang” dapat berimprovisasi bebas. Dalih keberagaman, kemajemukan SARA yang ada secara yuridis formal menghuni Nusantara.

Kita masih sulit melupakan dengan adanya berhala reformasi 3K (kaya, kuat, kuasa). Urutan 3K tidak baku, tergantung penikmatnya.

Praktik penggunaan “kuasa” dan “wenang” sejak berlakunya perubahan UUD NRI 1945, tergantung ilmu yang dimiliki sang penerima wahyu atau mandat sebagai penyelenggara negara, pejabat publik, penguasa atau sebutan heroik lainnya.

Juga tidak. Justru rekam jejak, jam terbang yang menentukan bentuk selera improvisasi memanfaatkan, menggunakan kekuasaan dan/atau kewenangan di tangan.

NKRI terjebak dalam nuansa sejahtera.

Sesuai peragaan penggunaan alat penyelamat di pesawat terbang umum dan komersial. Bagi orangtua yang membawa anak, pakailah masker terlebih dahulu, baru mengenakan masker ke anaknya, lanjut dengan pasal berikutnya.

Jadi, bagi pemain lama yang maju sebagai penguasa, sejahterakan dirinya, sejahterakan keluarganya, sejahterakan anak keturunannya, sejahterakan kelompoknya, sejahterakan relawannya, baru yang terakhir adalah sejahterakan rakyat yang memilihnya dan/atau rakyat yang tak memilihnya.

Bukan berarti menggunakan kekuasaan absolut dan/atau kewenangan tanpa batas, sebagai dalih agar pemerintah berjalan sesuai batas kontrak politik. Jangan sampai dibegal di tengah jalan. Jangan sampai tak sampai garis finish.

Karena amal politik bermanfaat bukan pada prosesnya, tetapi pada bagaimana hasil akhirnya. Apakah saat jelang akhir batas kontrak, amal politik masih sesuai di jalan yang lurus. Atau sebaliknya.

Rakyat masih mempunyai kekuatan doa dan kebajikan tanpa pamrih. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar