kekuasaan asbsolut vs kewenangan tanpa batas
Betul,
di UUD NRI 1945, sudah atau baru empat kali diubah. Disesuaikan dengan tuntutan
dan tantangan berkemajuan NKRI. Tak salah kalau memanh hasil kerja tangan
politik.
Tak
heran, kalau kata dasar dan/atau kata asal ‘kuasa’ dan ‘wenang’ menjadi faktor
pendinamisasi pasal-pasal perubahan.
Kondisi
ini menyebabkan bahwa “kuasa” dan “wenang” menjadi modal dasar, modal awal,
modal utama secara konstitusional. Kemanfaatannya, efektivitasnya – dengan
takaran bagi kepentingan dan kebutuhan rakyat – maka pihak pengguna “kuasa” dan
“wenang” dapat berimprovisasi bebas. Dalih keberagaman, kemajemukan SARA yang
ada secara yuridis formal menghuni Nusantara.
Kita
masih sulit melupakan dengan adanya berhala reformasi 3K (kaya, kuat,
kuasa). Urutan 3K tidak baku, tergantung penikmatnya.
Praktik
penggunaan “kuasa” dan “wenang” sejak berlakunya perubahan UUD NRI 1945,
tergantung ilmu yang dimiliki sang penerima wahyu atau mandat sebagai penyelenggara
negara, pejabat publik, penguasa atau sebutan heroik lainnya.
Juga
tidak. Justru rekam jejak, jam terbang yang menentukan bentuk selera improvisasi
memanfaatkan, menggunakan kekuasaan dan/atau kewenangan di tangan.
NKRI
terjebak dalam nuansa sejahtera.
Sesuai
peragaan penggunaan alat penyelamat di pesawat terbang umum dan komersial. Bagi
orangtua yang membawa anak, pakailah masker terlebih dahulu, baru mengenakan
masker ke anaknya, lanjut dengan pasal berikutnya.
Jadi,
bagi pemain lama yang maju sebagai penguasa, sejahterakan dirinya, sejahterakan
keluarganya, sejahterakan anak keturunannya, sejahterakan kelompoknya,
sejahterakan relawannya, baru yang terakhir adalah sejahterakan rakyat yang
memilihnya dan/atau rakyat yang tak memilihnya.
Bukan
berarti menggunakan kekuasaan absolut dan/atau kewenangan tanpa batas, sebagai
dalih agar pemerintah berjalan sesuai batas kontrak politik. Jangan sampai
dibegal di tengah jalan. Jangan sampai tak sampai garis finish.
Karena
amal politik bermanfaat bukan pada prosesnya, tetapi pada bagaimana hasil
akhirnya. Apakah saat jelang akhir batas kontrak, amal politik masih sesuai di
jalan yang lurus. Atau sebaliknya.
Rakyat
masih mempunyai kekuatan doa dan kebajikan tanpa pamrih. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar