Halaman

Minggu, 30 Juli 2017

Indonesia Sok Akrab atau Sok Jago



Indonesia Sok Akrab atau Sok Jago

Indonesia bukan Indonesia namanya, kalau tindak kejahatan tidak lebih maju selangkah dibanding dengan hukum yang mengaturnya. Lebih hebat lagi Indonesia-ku, pelaku tindak kejahatan, kriminalitas atau sebutan lainnya, dengan berbagai skala kasus, bisa-bisa malah bisa dilakukan oleh yang seharusnya adalah oknum penegak hukum.

Pepatah kuno, peribahasa jadul sudah mensinyalir akan ada dan seolah tetap ada, yaitu “pagar makan tanaman”. Kondisi kekinian, peribahasa tsb disederhanakan lewat Undang-Undang Republik Indonesia nomor 37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, yang disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 Oktober 2008. Penjelasan Pasal 1 angka 3 :
Maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.

Jadi, seolah hanya pihak yang berwenang saja yang menjadi subyek UU 37/2008. Begitulah kejadian sebenarnya akibat wewenang sudah masuk ranah politik. Sudah kita maklumi bersama, bahwasanya kamus politik, bahasa politik, hukum politik yang dominan dalam pelaksanaan hidup berbangsa dan bernegara.

Maladministrasi bukan hanya berbentuk perilaku/tindakan tetapi juga meliputi Keputusan dan Peristiwa yang melawan hukum. Disini, modus tindak maladministrasi tentu akan menyesuaikan dengan hukum. Kendati ada sapu bersih dan sikat bersih praktik maladministrasi, demi wibawa negara maka maladministrasi tak akan surut. Mereka tentu akan memperbaiki prosedur, tata cara maladministrasi sesuai asas legalitas atau aturan main internal, yang tak terdeteksi radar.

Maladministrasi merupakan salah satu unsur utama penghambat reformasi birokrasi selama ini.

Praktik penggunaan “kuasa” dan “wenang” sejak berlakunya perubahan UUD NRI 1945, tergantung ilmu yang dimiliki sang penerima wahyu atau mandat sebagai penyelenggara negara, pejabat publik, penguasa atau sebutan heroik lainnya.

Juga tidak. Justru rekam jejak, jam terbang yang menentukan bentuk selera improvisasi memanfaatkan, menggunakan kekuasaan dan/atau kewenangan di tangan. Bagaimana dengan yang bekerja dengan melampaui panggilan tugas dan kewenangannya. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar