Indonesia Sok Akrab atau Sok Jago
Indonesia
bukan Indonesia namanya, kalau tindak kejahatan tidak lebih maju selangkah
dibanding dengan hukum yang mengaturnya. Lebih hebat lagi Indonesia-ku, pelaku
tindak kejahatan, kriminalitas atau sebutan lainnya, dengan berbagai skala
kasus, bisa-bisa malah bisa dilakukan oleh yang seharusnya adalah oknum penegak
hukum.
Pepatah
kuno, peribahasa jadul sudah mensinyalir akan ada dan seolah tetap ada, yaitu “pagar
makan tanaman”. Kondisi kekinian, peribahasa tsb disederhanakan lewat Undang-Undang
Republik Indonesia nomor 37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, yang
disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 Oktober 2008. Penjelasan Pasal
1 angka 3 :
Maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui
wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan
wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam
penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan
pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat
dan orang perseorangan.
Jadi,
seolah hanya pihak yang berwenang saja yang menjadi subyek UU 37/2008. Begitulah
kejadian sebenarnya akibat wewenang sudah masuk ranah politik. Sudah kita
maklumi bersama, bahwasanya kamus politik, bahasa politik, hukum politik yang
dominan dalam pelaksanaan hidup berbangsa dan bernegara.
Maladministrasi
bukan hanya berbentuk perilaku/tindakan tetapi juga meliputi Keputusan dan
Peristiwa yang melawan hukum. Disini, modus tindak maladministrasi tentu akan
menyesuaikan dengan hukum. Kendati ada sapu bersih dan sikat bersih praktik maladministrasi,
demi wibawa negara maka maladministrasi tak akan surut. Mereka tentu akan
memperbaiki prosedur, tata cara maladministrasi sesuai asas legalitas atau
aturan main internal, yang tak terdeteksi radar.
Maladministrasi
merupakan salah satu unsur utama penghambat reformasi birokrasi selama ini.
Praktik
penggunaan “kuasa” dan “wenang” sejak berlakunya perubahan UUD NRI 1945,
tergantung ilmu yang dimiliki sang penerima wahyu atau mandat sebagai
penyelenggara negara, pejabat publik, penguasa atau sebutan heroik lainnya.
Juga
tidak. Justru rekam jejak, jam terbang yang menentukan bentuk selera
improvisasi memanfaatkan, menggunakan kekuasaan dan/atau kewenangan di tangan. Bagaimana dengan yang bekerja dengan melampaui panggilan tugas dan kewenangannya. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar