Halaman

Kamis, 06 Juli 2017

biaya politik vs investasi politik



biaya politik vs investasi politik

Pakai ilmu awur-awuran, semacam kaidah pergunjingan versi warung kopi, agaknya antara biaya politik dengan investor politik menjadi dua kutub dinamika demokrasi yang ada di Indonesia.

Melacak bedanya, biaya politik yang makro, umum, rentang kendali dari hulu sampai hilir seolah tanpa akhir. Bagi pihak yang terjebak pasal sepihak dari investor politik, harus siap dengan segala cuaca, aneka kemungkinan yang dinamis dan sulit diprediksi serta serba efek domino yang akan menyeret pihak yang semula hanya jadi penonton, penggembira.

Di awal buka kata oleh dukun politik lokal, kalau sudah main uang artinya sudah kontrak dengan dukun pengganda uang. Jangankan NKRI, negara adidaya saja sudah terbukti bahwa kursi presiden ada harganya, ada tarif ambang bawahnya.

Seberapa kecil biaya politik, yang argonya mulai menggila, mengkuda sejak angan-angan mau  membentuk sebuah partai politik. Pastinya biaya politik tidak masuk kategori administered price atau sebagai kebijakan harga atau biaya Pemerintah. Juga tidak tergantung harga pasaran dalam negeri, apalagi harga di pasar tradisional.

Indonesia nyaris terhipnotis pencitraan pada kandidat dengan pola investasi politik yang  terpilih, khususnya pada pilkada, seolah sebagai pejabat publik bebas KKN. APBD bagi ybs hanya uang receh yang tak akan dicuwil. Karena sang investor klas dunia, sudah menyediakan bonus dalam standar M.

MODEL DAN MODUS
Kurun waktu sejak bergulirnya reformasi dari puncaknya, ketika dengan gemilang me-lengserkeprabon-kan presiden RI kedua, tercatat ada dua besar pola, model, modus atau istilah sejenis sebagai bukti otentik biaya politik vs investasi politik dan gabungan atau resultannya.

Jika disandingkan, dibandingkan, ditandingkan bukan menyeleksi mana yang lebih unggul. Jangan dicari mana yang cocok dengan iklim negara multipartai.

Menghindari pasal abu-abu tentang ujaran kebencian dikemas melalui tulisan, seyogyakartanya pakai istilah ikrar. Menghindari sifat tendensius yang rawan dengan gaya politisir penguasa. Menghindari gaya provokasi ala penguasa bak pagar makanan tanaman.  

Ikrar Pertama. Uang bukan segala-galanya. Tetapi karena uang bisa untuk segala-galanya. Jargon ini manjur di industri politik. Dari hasil survei tanpa survei oleh lembaga survei tarif rekanan, karakteristik inflasi biaya politik di Indonesia pasang surutnya sulit diprediksi. Fakta ini disebabkan oleh persaingan antar kader yang masih di bawah standar normal. Faktor lain, .akibat macetnya kaderisasi dikarenakan atau kebijakan partai yang tebang pilih.

Karakteristik produk kader partai  yaitu nilai jual yang fluktuatif dan pola kaderisasi atau rekruitmen yang bersifat musiman atau angin-anginan. Berbagai kebijakan ketua umum partai yang esensinya menjaga agar persaingan internal dapat dikendalikan dan stabil.  Kiat ini diasakan mempunyai dampak minimal terhadap biaya politik. Kendati bantuan pemerintah bisa diatur. Kebijakan biaya  politik internal partai dalam pelaksanaannya belum terlihat efektif.

Biaya politik untuk peserta pilkada, yang belum serentak apalagi yang sudah serentak, tentu beda dengan peminat pemilu legislatif yang serentak. Jalur independen membuat peserta/peminat pilkada sudah tahu peta “tarif sukses raih kursi” yang berlaku. Modal sendiri diutamakan. Patungan, dukungan dana komunitasnya.

Peserta/peminat pemula di pemilu legistafif tingkat kabupaten/kota, provinsi maupun pusat, kondisi daya dukung biaya politik bisa win-win solution atau fifty-fifty dengan parpolnya. Parpol baru yang membuka pendaftaran berharap kontribusi bakal calon. Wajah baru yang menumpang parpol dipastikan akan habis-habisan bersubsidi, memberi sumbangan sosial atau bantuan sosial buat parpol pengusungnya.

Jika sukses raih predikat penyelenggara negara, kendati tingkat daerah, maka argo balik modal, kembali modal sudah mulai berdetak cepat. Seirama detak jantung ybs. Kalkulasi politiknya, selama satu periode bisa impas, untung atau panen perdana, plus punya modal untuk maju ke periode kedua. Jaga diri jangan sampai terkena razia OTT KPK atau pasal lain.

Ikrar Kedua. Seperti sudah diawali di alenia kelima. Ada dua kemungkinan besar. Pertama, dalam pilkada, bakal calon memang orang partai. Kendati parpolnya atau koalisi parpol di atas kertas bisa menang, namun karena bakal calon belum punya nama, tak ayal dicari bakal calon wakil yang mampu mendongkrak suara. Biasanya diambil dari birokrat lokal yang masih aktif atau purna yang sudah punya nama atau nilai jual tinggi.

Sang bakal calon wakil seperti ketiban “sial politik”. Tidak niat mau jadi orang kuat daerah malah terkondisikan, demi pengabdian atau rekam jejak sebagai birokrat sebagai nilai jual.

Kedua. Ada anak bangsa merasa modal politiknya laik jalan, tinggal cari sponsor. Merasa karir sebagai penyelenggara dirintis dari bawah, mulai angka nol perlu dukungan non-politik agar naik peringkat dan jenjang. Tanpa modal Rp. Jika sukses siap jalankan skenario sang investor politik. Siap dalam komunikasi, koordinasi, kendali. Siap jadi kapal keruk. Siap menjalankan aba-aba, sinyal, perintah masjikan tanpa hak bantah.

Akhirnya, ketika jadi penguasa, hanya jadi simbol, boneka, pajangan etalase politik. Jadi alat hisap debu dan sapu bersih. Jadi ATM pihak musuh negara vs musuh rakyat.

Ybs tidak perlu korupsi, sudah ada bonus politik khusus dari investor politik mancanegara. Asal mejalankan asas kepatuhan, ketaatan, loyalitas total, maka urusan dunianya terjamin.

Kombinasi Ikrar Pertama dengan Ikrar Kedua. Berkemajuan ideologi atau politik anak bangsa sudah sedemikian melesat. Ditunjang dengan jiwa dan roh otonomi daerah. Kalau sekedar dinasti politik, bukan hal yang luar biasa. Semisal, malah ada yang sudah jadi kepala daerah, bisa memposisikan dirinya sebagai investor politik. Membuka peluang bagi yang mau maju pilkada di daerah tetangganya, dalam satu provinsi yang peta warna politiknya dominan, dengan transaksi politik.

Gambling ini memang banyak berhasilnya. Karena kondisi lokal daerah sangat memungkinkan. Asal masih satu kendaraan politik. Koalisipun masih diterima dengan tangan terbuka asal bisa mendatangkan “berkah politik”. Kalkulasi politik harus akurat, rekam jejak kepolitikan daerah relatif stabil dan menerus.

Tentunya, apa yang saya tayangkan ini masih banyak cacatnya. Daripada tidak dicatat. Bukan pula kilasan sejarah. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar