biaya politik vs investasi
politik
Pakai
ilmu awur-awuran, semacam kaidah pergunjingan versi warung kopi, agaknya
antara biaya politik dengan investor politik menjadi dua kutub dinamika
demokrasi yang ada di Indonesia.
Melacak
bedanya, biaya politik yang makro, umum, rentang kendali dari hulu sampai hilir
seolah tanpa akhir. Bagi pihak yang terjebak pasal sepihak dari investor
politik, harus siap dengan segala cuaca, aneka kemungkinan yang dinamis dan
sulit diprediksi serta serba efek domino yang akan menyeret pihak yang semula
hanya jadi penonton, penggembira.
Di
awal buka kata oleh dukun politik lokal, kalau sudah main uang artinya sudah
kontrak dengan dukun pengganda uang. Jangankan NKRI, negara adidaya saja sudah
terbukti bahwa kursi presiden ada harganya, ada tarif ambang bawahnya.
Seberapa
kecil biaya politik, yang argonya mulai menggila, mengkuda sejak angan-angan
mau membentuk sebuah partai politik.
Pastinya biaya politik tidak masuk kategori administered price atau sebagai kebijakan harga atau biaya Pemerintah. Juga
tidak tergantung harga pasaran dalam negeri, apalagi harga di pasar
tradisional.
Indonesia nyaris terhipnotis pencitraan pada kandidat – dengan pola
investasi politik – yang
terpilih, khususnya pada pilkada, seolah sebagai pejabat publik bebas
KKN. APBD bagi ybs hanya uang receh yang tak akan dicuwil. Karena sang investor
klas dunia, sudah menyediakan bonus dalam standar M.
MODEL DAN MODUS
Kurun
waktu sejak bergulirnya reformasi dari puncaknya, ketika dengan gemilang me-lengserkeprabon-kan
presiden RI kedua, tercatat ada dua besar pola, model, modus atau istilah
sejenis sebagai bukti otentik biaya politik vs investasi politik dan gabungan
atau resultannya.
Jika
disandingkan, dibandingkan, ditandingkan bukan menyeleksi mana yang lebih
unggul. Jangan dicari mana yang cocok dengan iklim negara multipartai.
Menghindari
pasal abu-abu tentang ujaran kebencian dikemas melalui tulisan, seyogyakartanya
pakai istilah ikrar. Menghindari sifat tendensius yang rawan dengan gaya politisir
penguasa. Menghindari gaya provokasi ala penguasa bak pagar makanan tanaman.
Ikrar Pertama. Uang
bukan segala-galanya. Tetapi karena uang bisa untuk segala-galanya. Jargon ini
manjur di industri politik. Dari hasil survei tanpa survei oleh lembaga survei tarif
rekanan, karakteristik inflasi biaya politik di Indonesia pasang surutnya sulit
diprediksi. Fakta ini disebabkan oleh persaingan antar kader yang masih di
bawah standar normal. Faktor lain, .akibat macetnya kaderisasi dikarenakan atau
kebijakan partai yang tebang pilih.
Karakteristik produk kader partai yaitu nilai jual yang fluktuatif dan pola
kaderisasi atau rekruitmen yang bersifat musiman atau angin-anginan. Berbagai kebijakan
ketua umum partai yang esensinya menjaga agar persaingan internal dapat
dikendalikan dan stabil. Kiat ini
diasakan mempunyai dampak minimal terhadap biaya politik. Kendati bantuan
pemerintah bisa diatur. Kebijakan biaya politik
internal partai dalam pelaksanaannya belum terlihat efektif.
Biaya politik untuk peserta pilkada, yang belum serentak apalagi yang sudah
serentak, tentu beda dengan peminat pemilu legislatif yang serentak. Jalur independen
membuat peserta/peminat pilkada sudah tahu peta “tarif sukses raih kursi” yang
berlaku. Modal sendiri
diutamakan. Patungan, dukungan dana komunitasnya.
Peserta/peminat
pemula di pemilu legistafif tingkat kabupaten/kota, provinsi maupun pusat,
kondisi daya dukung biaya politik bisa win-win solution atau fifty-fifty
dengan parpolnya. Parpol baru yang membuka pendaftaran berharap kontribusi
bakal calon. Wajah baru yang menumpang parpol dipastikan akan habis-habisan
bersubsidi, memberi sumbangan sosial atau bantuan sosial buat parpol
pengusungnya.
Jika
sukses raih predikat penyelenggara negara, kendati tingkat daerah, maka argo
balik modal, kembali modal sudah mulai berdetak cepat. Seirama detak jantung
ybs. Kalkulasi politiknya, selama satu periode bisa impas, untung atau panen
perdana, plus punya modal untuk maju ke periode kedua. Jaga diri jangan sampai
terkena razia OTT KPK atau pasal lain.
Ikrar Kedua. Seperti
sudah diawali di alenia kelima. Ada dua kemungkinan besar. Pertama, dalam
pilkada, bakal calon memang orang partai. Kendati parpolnya atau koalisi parpol
di atas kertas bisa menang, namun karena bakal calon belum punya nama, tak ayal
dicari bakal calon wakil yang mampu mendongkrak suara. Biasanya diambil dari
birokrat lokal yang masih aktif atau purna yang sudah punya nama atau nilai
jual tinggi.
Sang
bakal calon wakil seperti ketiban “sial politik”. Tidak niat mau jadi orang
kuat daerah malah terkondisikan, demi pengabdian atau rekam jejak sebagai
birokrat sebagai nilai jual.
Kedua.
Ada anak bangsa merasa modal politiknya laik jalan, tinggal cari sponsor. Merasa
karir sebagai penyelenggara dirintis dari bawah, mulai angka nol perlu dukungan
non-politik agar naik peringkat dan jenjang. Tanpa modal Rp. Jika sukses siap
jalankan skenario sang investor politik. Siap dalam komunikasi, koordinasi,
kendali. Siap jadi kapal keruk. Siap menjalankan aba-aba, sinyal, perintah
masjikan tanpa hak bantah.
Akhirnya,
ketika jadi penguasa, hanya jadi simbol, boneka, pajangan etalase politik. Jadi
alat hisap debu dan sapu bersih. Jadi ATM pihak musuh negara vs musuh rakyat.
Ybs tidak
perlu korupsi, sudah ada bonus politik khusus dari investor politik
mancanegara. Asal mejalankan asas kepatuhan, ketaatan, loyalitas total, maka
urusan dunianya terjamin.
Kombinasi Ikrar Pertama dengan Ikrar Kedua. Berkemajuan ideologi atau
politik anak bangsa sudah sedemikian melesat. Ditunjang dengan jiwa dan roh
otonomi daerah. Kalau sekedar dinasti politik, bukan hal yang luar biasa. Semisal,
malah ada yang sudah jadi kepala daerah, bisa memposisikan dirinya sebagai
investor politik. Membuka peluang bagi yang mau maju pilkada di daerah
tetangganya, dalam satu provinsi yang peta warna politiknya dominan, dengan
transaksi politik.
Gambling
ini memang banyak berhasilnya. Karena kondisi lokal daerah sangat memungkinkan.
Asal masih satu kendaraan politik. Koalisipun masih diterima dengan tangan
terbuka asal bisa mendatangkan “berkah politik”. Kalkulasi politik harus
akurat, rekam jejak kepolitikan daerah relatif stabil dan menerus.
Tentunya,
apa yang saya tayangkan ini masih banyak cacatnya. Daripada tidak dicatat. Bukan
pula kilasan sejarah. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar