Menalar Imajinasi Ibukota Negara
Digusur
Sikap apatis, sinis, sképtis, séntimén
rakyat kebanyakan terhadap rencana super hebat pemerintah mau membuka lahan
untuk calon ibukota negara, bukan tanpa sebab.
Akumulasi kinerja relawan Jokowi
plus/minus JK, menjadi faktor penentu terbentuknya opini di masyarakat. Fakta lapangan
lah yang berbicara, bukan laporan praktik terbaik.
Wajar jika ada peringatan tertulis “Buanglah
Sampah Pada Tempatnya”. Dilengkapi dengan tempat pebuangan sampah sesuai bahan.
Antara lain sampah organis dan sampah non-organis atau sebutan lainnya.
Masyarakat anak bangsa Indonesia,
putera asli daerah, jika diingatkan malah semakin sengaja. Ibarat hukum yang
dibuat hanya untuk dilanggar.
Apa kata dunia, jika kemelut rumah
tangga keluarga sampai melibatkan kepala negara. Memang, untuk urusan bumbu dapur
rumah tangga atau keluarga, semisal harga cabai, ketersediaan garam meja
membuat pemerintah kebakaran jenggot. Para pembantu presiden urusan pangan
saling lempar tanggung jawab saat sembako menghilang di pasar bebas, pasar
tradisional.
Berbagai kebijakan pemerintah
digulirkan yang bersifat proaktif katanya, antisipatif, membuka peluang pelaku
manipulasi dan terkadang sebagai penyumbang inflasi.
Ironis
binti tragis jika seorang presiden langsung ujar niat bahwa ada tiga provinsi
yang sedang dikaji sebagai calon ibukota negara pengganti Jakarta. Lucunya lagi,
sang presiden malu-malu sebut nama kandidat dimaksud. Katanya untuk
mengantisipasi harga tanah yang dapat melonjak tinggi kegirangan akibat aksi
para spekulan maupun pelaku ekonomi. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar