Halaman

Rabu, 26 Juli 2017

karena musuh rakyat tak berbaju rakyat



karena musuh rakyat tak berbaju rakyat

Melalui kawah Candradimuka bernama Orde Baru (Orba) akhirnya keluarlah rakyat yang kebal segala cuaca dan tahan banting. Kebal terhadap tekanan politik, intimidasi keamanan, pengkebirian asipirasi dan hati nurani sampai peng-agama-an aliran kepercayaan.

Tahan banting terhadap tatanan politik yang susah membedakan mana lawan mana musuh;
Tahan banting terhadap tatanan ekonomi yang memakmurkan si kaya dan mengadili si miskin;
Tahan banting terhadap tatanan sosial yang melahirkan strata multi kultur;
Tahan banting terhadap tatanan hukum yang memraktikkan hukum rimba.

Sisi lain, lahirlah masyarakat yang kebal hukum dan muncullah pejabat yang tahan banting terhadap aspirasi masyarakat. Sisa-sisa pejabat Orba yang masih melenggang dan bercokol di era reformasi ini, masih menunjukkan kekebalannya dan daya tahan bantingnya. Penyelenggara negara menjadi kebal hukum.

Memang sejak Super Semar sampai lengser keprabonnya Soeharto cukup mewarnai suatu generasi. Atau yang paling payah justru melahirkan finalis-finalis yang sangat berkepentingan untuk dirinya dan golongannya. Pasalnya sangat sederhana, kalau di zaman Orba hanya kebagian peran sebagai copet pasar atau maling jemuran maka sekarang memasang badan jadi perampok, entah perampok berkursi ataupun perampok berdasi, yang penting konstitusional.

Munculnya ratusan partai politik hanya merupakan puncak gunung es. Masalah yang terpendam harus kita waspadai, siap-siap meledak dan menghancurkan bangsa ini. Eksesnya sudah kita rasakan dengan tertelannya peradaban bangsa oleh sebaran dan edaran bebas Narkoba dan ragam pornografi sebagai alat pemukul penguasa.

Di jalanan, sosok rakyat yang mempunyai keahlian / keterampilan mengemudi angkutan umum, tanpa peduli ngetem di bahu jalan. Bunyi klakson, raungan bajaj serta sumpah serapah pemakai lalu lintas yang antri di belakangnya, tak mampu mengusik nuraninya (utawa soal moral?). Kepentingan menjaring penumpang dan uber setoran menjadi pilihan utama.

Di jalanan, motor telah menjadi raja jalanan. Menjadi angkutan pribadi yang praktis dan berdaya tampung melebihi kapasitasnya. Antar anak sekolah, berangkat kerja, angkut barang dagangan sampai menjadi ojeg. Dalam kategori tertentu mereka jadi setan jalanan.

Di jalanan, memang banyak rakyat berkeliaran. Mengkais rejeki pagi. Mencari sesuap nasi. Mengelola ekonomi sehari. Mereka hidup dari jalanan. Jalan menjadi ladang utama. Menjalankan bisnis jalanan.

Di jalanan, ada hukum yang berlaku. Aturan main tilang, tarif parkir, PKL, tukang palak, tukang parkir, penjual koran di lampu merah, Pak Ogah yang berbagai pasalnya tidak memihak rakyat. Ironis, dijalanan tergelar episode rakyat makan rakyat?.

Di jalanan, demokrasi berjalan bebas berbasis manusia bebas, melahirkan free man. Preman. Banyak kejadian di jalanan yang mengilhami penguasa negara. Celakanya banyak rakyat yang pandai menghujat para pemimpin bangsa. Tetapi mereka tak pernah bercermin, bagaimana caranya menjadi rakyat bermartabat.

Di jalanan, rakyat berbaris, antri . . . [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar