karena musuh rakyat tak berbaju rakyat
Melalui
kawah Candradimuka bernama Orde Baru (Orba) akhirnya keluarlah rakyat yang
kebal segala cuaca dan tahan banting. Kebal terhadap tekanan politik,
intimidasi keamanan, pengkebirian asipirasi dan hati nurani sampai peng-agama-an
aliran kepercayaan.
Tahan banting terhadap
tatanan politik yang susah membedakan mana lawan mana musuh;
Tahan banting terhadap
tatanan ekonomi yang memakmurkan si kaya dan mengadili si miskin;
Tahan banting terhadap
tatanan sosial yang melahirkan strata multi kultur;
Tahan banting terhadap
tatanan hukum yang memraktikkan hukum rimba.
Sisi
lain, lahirlah masyarakat yang kebal hukum dan muncullah pejabat yang tahan
banting terhadap aspirasi masyarakat. Sisa-sisa pejabat Orba yang masih
melenggang dan bercokol di era reformasi ini, masih menunjukkan kekebalannya
dan daya tahan bantingnya. Penyelenggara negara menjadi kebal hukum.
Memang
sejak Super Semar sampai lengser keprabonnya Soeharto cukup mewarnai suatu
generasi. Atau yang paling payah justru melahirkan finalis-finalis yang sangat
berkepentingan untuk dirinya dan golongannya. Pasalnya sangat sederhana, kalau
di zaman Orba hanya kebagian peran sebagai copet pasar atau maling jemuran maka
sekarang memasang badan jadi perampok, entah perampok berkursi ataupun perampok
berdasi, yang penting konstitusional.
Munculnya
ratusan partai politik hanya merupakan puncak gunung es. Masalah yang terpendam
harus kita waspadai, siap-siap meledak dan menghancurkan bangsa ini. Eksesnya
sudah kita rasakan dengan tertelannya peradaban bangsa oleh sebaran dan edaran bebas
Narkoba dan ragam pornografi sebagai alat pemukul penguasa.
Di
jalanan, sosok rakyat yang mempunyai keahlian / keterampilan mengemudi angkutan
umum, tanpa peduli ngetem di bahu jalan. Bunyi klakson, raungan bajaj serta
sumpah serapah pemakai lalu lintas yang antri di belakangnya, tak mampu
mengusik nuraninya (utawa soal moral?). Kepentingan menjaring penumpang dan
uber setoran menjadi pilihan utama.
Di
jalanan, motor telah menjadi raja jalanan. Menjadi angkutan pribadi yang
praktis dan berdaya tampung melebihi kapasitasnya. Antar anak sekolah,
berangkat kerja, angkut barang dagangan sampai menjadi ojeg. Dalam kategori
tertentu mereka jadi setan jalanan.
Di
jalanan, memang banyak rakyat berkeliaran. Mengkais rejeki pagi. Mencari sesuap
nasi. Mengelola ekonomi sehari. Mereka hidup dari jalanan. Jalan menjadi ladang
utama. Menjalankan bisnis jalanan.
Di
jalanan, ada hukum yang berlaku. Aturan main tilang, tarif parkir, PKL, tukang
palak, tukang parkir, penjual koran di lampu merah, Pak Ogah yang berbagai
pasalnya tidak memihak rakyat. Ironis, dijalanan tergelar episode rakyat makan
rakyat?.
Di
jalanan, demokrasi berjalan bebas berbasis manusia bebas, melahirkan free man.
Preman. Banyak kejadian di jalanan yang mengilhami penguasa negara. Celakanya
banyak rakyat yang pandai menghujat para pemimpin bangsa. Tetapi mereka tak
pernah bercermin, bagaimana caranya menjadi rakyat bermartabat.
Di
jalanan, rakyat berbaris, antri . . . [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar