tragèdi idéologi
Nusantara, anak wayang vs anak dalang
Antara
wayang, khususnya wayang kulit yang pernah saya saksikan langsung dengan dalang
memang merupakan satu paket. Kalau istilah ‘anak wayang’ tergantung yang
mengucapkannya. Kalau anak semata wayang artinya anak tunggal, tidak punya
saudara kandung.
Agak
risih jika kata ‘dalang’ berkonotasi sebagai biang keributan. Agak mending
dibilang aktor intelektual tetapi tidak ada sutradara intelektual, malah
runyam.
Secara
politis, kata ‘dalang’ dipakai untuk pihak provokator jika terjadi huru-hara. Makanya
doeloe ada pasukan anti huru-hara. Jika terjadi bencana politik, serta merta
penguasa sudah mengantongi nama sang dalang.
Bahkan
dari penyidikan, pengendusan aparat juru intai masyarakat, belum terjadi
kejadian perkara, sudah ditetapkan calon tersangka tindak pidana teroris. Kasus
mégakorupsi, yang sudah terang-benderang, jika semakin diproses hukumnya sesuai
aturan main negara hukum, malah menjadi gelap-gulita.
Jujru
saja kawan, bencana politik nasional, kalau mau tahu dalangnya, kata berita di
berbagai versi media angina rebut, semua telunjuk mengarah ke sponsor utawa
investor politik. Kalau telunjuk masih berputar-putar berarti ‘dalang utama di
balik layar’ masih aman-aman di dalam negeri.
Kalau
telunjuk dari yang biasa memberi petunjuk kepada bapak presiden, mengarah ke
dunia lain, artinya.
Kembali
ke pokok berita. Jika wayang dan dalang, apapun definisinya, jika diturunkan,
dijabarkan ke dalam kehidupan nyata maka sepertinya sebagai gambaran nyata. Bukan
sekedar bayang-bayang, fatamorgana.
Sesuai
semangat lalu lintas politik lokal dan medan laga daya juang petarung ideologi
atau petugas, pesuruh, pegiat, pelaku partai hakikatnya antara wayang dengan
dalang tetap dalam satu paket, dalam satu kemasan.
Jika
ada statemen utawa ujaran pernyataan dari mulut penguasa yang
mengomentarai berbagai kasus, rasanya mana wayang mana dalang, sami mawon.
[HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar