Nusantara
didominasi petualang ideologi “tanpa kenal pamrih”
Tak salah
ujar bang Haji, bahwasanya di Nusantara ini, mencari yang haram saja susahnya
sampai tujuh keliling, apalagi yang halal.
Mau bayar
tol di gerbang tol, sebagai pengguna jalan tol bebas hambatan, pengemudi harus
antri.
Kalau
mau korupsi, antrinya di mana mbokde/paklik.
Bincang
bebas dari ujaran kebencian, di mata dunia Indonesia yang kaya raya, memang
benar adanya. Tidak sekedar katanya. Bukti otentik bahwa NKRI adalah negara
serba multi, adalah tindak pidana korupsi menjadi bagian sentral dari
Duka
jiwa, luka batin anak bangsa semangkin menjelaga, semangkin kelam, dikarenakan
ulah anak cucu ideologis – utawa pihak yang merasa sebagai pewaris tunggal
takhta dan mahkota kerajaan Nusantara – malah main mata dengan bandar politik,
investor politik yang nyata-nyata sebagai sponsor kudeta dua kali PKI di tahun
1948 dan tahun 1965.
Ngorèti sisa
periode 2014-2019, kelakuan petualang ideologi anak bangsa semangkin menujukkan
keberingasan, kebrutalaan dan serbatéga. Di éra mégatéga, kejadian perkara bak “pagar
makan tanaman”, bukan hal tabu. Lalu lintas politik lokal menjadikan pihak
berwenang merasa mempunyai wewenang lebih untuk balas jasa dan balas budi
kepada pihak yang memberinya kursi kekuasaan. Pihak yang berwajib sebagai
pengayom dan pengayem masyarakat, merasa lebih berwajib melindungi penguasa
agar berlanjut ke periode berikutnya. Belum terhitung kawalan dari armada dirgantara,
angkasa raya. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar