Janji (Utang) Politik, Musuh Nyata Revolusi Mental
Padahal, semua lapis anak bangsa
yang peduli nasib dan masa depan negara, sudah tahu luar dalam kalau revolusi
mental adalah juga janji politik. Bahkan menjadi andalan pemerintah Jokowi plus
minus JK.
Demokrasi yang ada di Indonesia,
memposisikan bahwa janji kampanye tidak bisa dipidana. Hanya bahasa pemikat,
pemanis bibir agar kelihatan lebih. Namun jangan lupa, secara adab manusia
berbudaya, janji yang diucapkan adalah utang. Utang harus dibayar atau
dilunasi.
Bayangkan, kalau seseorang dengan
janji kampanye berhasil jadi penguasa, maka janji kampanye menjadi bahan baku
dalm menyusun kebijakan. Andai ada kebijakan yang jauh dari isi atau kandungan
jajnji kampanye, pakai pasal “mikul duhuwur, mendhem jero”. Sesuai Kamus Jawa, artinya gawé kuncarané
wong tuwa.
Terlebih, Joko Widodo sebagai
Wong-Jawa, salah satu kemampuan kejawennya adalah ilmu ngeluk boyok
alias muntir saliro, utawa menggeliat. Bukan juga. Yang dimaknai dengan “ngeluk” adalah merangkul. Terbukti, bahwa Jokowi malah sebagai korban dieluk oleh
pdip. Ke bawah atau ke samping, Jokowi mahir, cakap, ahli berbasa-basi dengan
pihak lain (baca : termasuk lawan politik pdip) yang masuk dalam jaringannya. Tak
perlu pandang bulu keetnisan, agama, budaya, bahasa atau faktor bawaan lahir
lainnya.
Minimal Jokowi selain ahli melola
konflik, juga cakap menjadikan wirang pribadi ,menjadi wirang sistem.
Bagaimana nasib
mewujudkan janji kampanye. Apakah hanya sebatas sebagai peribahasa. Ataukah hanya
sebagai bunga-bunga kampanye, sebagai pemanis. Apalagi kampanye berskala
nasional, ditayangkan melalui media massa sebagai debat antar pasangan calon
presiden dan calon wakil presiden.
Kampanye memang saudara
seayah promosi tukang jual obat di kali lima. Menawarkan obat manjur bin
mujarab, bisa mengobati 1001 macam jenis penyakit. Masalahnya, varian penyakit
selalu muncul tanpa terdeteksi sejak dini. Setelah memakan korban, baru orang
sibuk meracik obat. Obat yang tersedia, obat yang super manjur pun tidak bisa
berisifat preventif apalagi antisipatif. Kualitas obat mengalami degradasi
secara sistematis, masif dan berkelanjutan. Seperti pemilik warung makanan,
lauk rakyat tahu tempe mengalami proses minimlaisasi dengan harga tetap. Atau
porsi menjadi menciut, dengan piring tetap.
Kampanye Jokowi-JK
secara akademis, secara strategi di atas kertas, secara penjabaran dalam
formulasi Trisakti dan Nawa Cita, memang layak jual. Bahkan “terbukti”
mengalahkan konsep para pesaingnya.
Jangankan rakyat pemilih
yang tidak faham proposal, bahkan usai dilantik dan disumpah jadi RI-1 dan
RI-2, Jokowi-JK lantas lupa janji kampanyenya. Berbagai bentuk paket
ditawarkan. Semakin banyak paket, semakin membuktikan proposal/konsep jualan
saat kampaye pilpres memang sebatas promosi, pencitraan agar rakyat terlena.
Jangan-jangan Jokowi-JK
salah minum obat. Obat untuk penenang diri, melupakan keruwetan hidup, mengabaikan
penghinaan jabatan presiden, malah berdampak lupa janji kampanye. Namun
sekaligus kebal terhadap tukang tagih janji. Namun tidak kebal terhadap
tindakan yang menyanjung dirinya. Tidak peka terhadap kefasikan media massa
yang menjadi pendukungnya, karena sudah dapat berbagai bonus imbalan.
Udara Nusantara dipenuhi
arus lalu lintas, frekuensi berita yang bukan berita. Kabar yang bukan kabar.
Informasi yang bukan informasi. Bisa-bisa, memang bisa, akhirnya negeri ini
bisa dikuasai oleh tukang ahli “berita”. Mudah terbuai, terangsang oleh gambar,
visualisasi. Tampilan judul berita yang atraktif, spektakuler, provokatif.
Semakin anak bangsa
mendewakan otak, akal, nalar, logika – atau kebalikannya – malah untuk sekolah
pun mahal, ribet, menjemukan, akhirnya menjadi warga negara yang siap. Konon,
jika orang Indonesia dengan puncak keilmuan masih percaya, bahkan percaya
berita palsu utawa hoax, karena mereka memang bergelut dengan data dan
informasi yang tertulis.
Akhir olahkata ini,
Wong-Jawa mengenal ungkapan “ajining diri saka lathi lan budi”. Maksud yang terkandung adalah
harga diri, citra diri, pesona diri tergantung pada ucapan, tindak tutur dan
kebaikan hati, kemuliaan budi, keikhlasan budi. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar