Halaman

Minggu, 23 Juli 2017

Janji (Utang) Politik, Musuh Nyata Revolusi Mental



Janji (Utang) Politik, Musuh Nyata Revolusi Mental

Padahal, semua lapis anak bangsa yang peduli nasib dan masa depan negara, sudah tahu luar dalam kalau revolusi mental adalah juga janji politik. Bahkan menjadi andalan pemerintah Jokowi plus minus JK.

Demokrasi yang ada di Indonesia, memposisikan bahwa janji kampanye tidak bisa dipidana. Hanya bahasa pemikat, pemanis bibir agar kelihatan lebih. Namun jangan lupa, secara adab manusia berbudaya, janji yang diucapkan adalah utang. Utang harus dibayar atau dilunasi.

Bayangkan, kalau seseorang dengan janji kampanye berhasil jadi penguasa, maka janji kampanye menjadi bahan baku dalm menyusun kebijakan. Andai ada kebijakan yang jauh dari isi atau kandungan jajnji kampanye, pakai pasal “mikul duhuwur, mendhem jero”. Sesuai Kamus Jawa, artinya gawé kuncarané wong tuwa.

Terlebih, Joko Widodo sebagai Wong-Jawa, salah satu kemampuan kejawennya adalah ilmu ngeluk boyok alias muntir saliro, utawa menggeliat. Bukan juga. Yang dimaknai dengan “ngeluk” adalah merangkul. Terbukti, bahwa Jokowi malah sebagai korban dieluk oleh pdip. Ke bawah atau ke samping, Jokowi mahir, cakap, ahli berbasa-basi dengan pihak lain (baca : termasuk lawan politik pdip) yang masuk dalam jaringannya. Tak perlu pandang bulu keetnisan, agama, budaya, bahasa atau faktor bawaan lahir lainnya.

Minimal Jokowi selain ahli melola konflik, juga cakap menjadikan wirang pribadi ,menjadi wirang sistem.

Bagaimana nasib mewujudkan janji kampanye. Apakah hanya sebatas sebagai peribahasa. Ataukah hanya sebagai bunga-bunga kampanye, sebagai pemanis. Apalagi kampanye berskala nasional, ditayangkan melalui media massa sebagai debat antar pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.

Kampanye memang saudara seayah promosi tukang jual obat di kali lima. Menawarkan obat manjur bin mujarab, bisa mengobati 1001 macam jenis penyakit. Masalahnya, varian penyakit selalu muncul tanpa terdeteksi sejak dini. Setelah memakan korban, baru orang sibuk meracik obat. Obat yang tersedia, obat yang super manjur pun tidak bisa berisifat preventif apalagi antisipatif. Kualitas obat mengalami degradasi secara sistematis, masif dan berkelanjutan. Seperti pemilik warung makanan, lauk rakyat tahu tempe mengalami proses minimlaisasi dengan harga tetap. Atau porsi menjadi menciut, dengan piring tetap.

Kampanye Jokowi-JK secara akademis, secara strategi di atas kertas, secara penjabaran dalam formulasi Trisakti dan Nawa Cita, memang layak jual. Bahkan “terbukti” mengalahkan konsep para pesaingnya.

Jangankan rakyat pemilih yang tidak faham proposal, bahkan usai dilantik dan disumpah jadi RI-1 dan RI-2, Jokowi-JK lantas lupa janji kampanyenya. Berbagai bentuk paket ditawarkan. Semakin banyak paket, semakin membuktikan proposal/konsep jualan saat kampaye pilpres memang sebatas promosi, pencitraan agar rakyat terlena.

Jangan-jangan Jokowi-JK salah minum obat. Obat untuk penenang diri, melupakan keruwetan hidup, mengabaikan penghinaan jabatan presiden, malah berdampak lupa janji kampanye. Namun sekaligus kebal terhadap tukang tagih janji. Namun tidak kebal terhadap tindakan yang menyanjung dirinya. Tidak peka terhadap kefasikan media massa yang menjadi pendukungnya, karena sudah dapat berbagai bonus imbalan.

Udara Nusantara dipenuhi arus lalu lintas, frekuensi berita yang bukan berita. Kabar yang bukan kabar. Informasi yang bukan informasi. Bisa-bisa, memang bisa, akhirnya negeri ini bisa dikuasai oleh tukang ahli “berita”. Mudah terbuai, terangsang oleh gambar, visualisasi. Tampilan judul berita yang atraktif, spektakuler, provokatif.

Semakin anak bangsa mendewakan otak, akal, nalar, logika – atau kebalikannya – malah untuk sekolah pun mahal, ribet, menjemukan, akhirnya menjadi warga negara yang siap. Konon, jika orang Indonesia dengan puncak keilmuan masih percaya, bahkan percaya berita palsu utawa hoax, karena mereka memang bergelut dengan data dan informasi yang tertulis.

Akhir olahkata ini, Wong-Jawa mengenal ungkapan “ajining diri saka lathi lan budi”. Maksud yang terkandung adalah harga diri, citra diri, pesona diri tergantung pada ucapan, tindak tutur dan kebaikan hati, kemuliaan budi, keikhlasan budi.  [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar