Halaman

Minggu, 16 Juli 2017

radikalisme membuat penguasa sesak ideologi



radikalisme membuat penguasa sesak ideologi

Kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat tentu tak akan lepas dari gesekan horizontal maupun terjadinya gesekan vertikal. Pemerintah secara yuridis “mampu” menterjemahkan aneka peristiwa berbasis lema sosial. Khususnya dengan ditetapkannya UU 7/2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.

Bukan sekedar pada apa yang dimaksud dengan Konflik Sosial dan selanjutnya, tetapi bukan pula mencari-cari biangnya, walau disebut nyata, jelas, terang benderang di :

Pasal 5
Konflik dapat bersumber dari :
a.      permasalahan yang berkaitan dengan politik, ekonomi, dan sosial budaya;
b.      . . . . .

Disinyalir pihak yang berkompeten saat menyusun UU 7/2012 sepakat menempatkan, memposisikan lema ‘politik’ di ayat a bahkan sebagai sumber masalah pertama.dan/atau utama.

Belajar dari sejarah bencana sosial, atau yang awalnya diklaim oleh pemerintah sebagai bencana sosial, namun merembet ke semua aspek kehidupan.

Terhitung mulai tanggal 29 Mei 2006, lokasi eksplorasi minyak oleh perusahaan minyak PT Lapindo Brantas Inc lumpur di di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, provinsi Jawa Timur, telah menyemburkan lumpur panas ke permukaan bumi. Sampai tulisan ini ditulis, agaknya luberan, luapan, limpahan, limbahan lumpur Lapindo Brantas tetap berjalan sebagaimana mestinya.

Semakin dibendung, semakin menggelundung.
Semakin dicegah, semakin melimpah.
Semakin dicegat, semakin menyengat.
Semakin dimanipulasi, semakin menjadi atraksi.
Semakin ditutup demi wibawa negara, semakin meletup.
Semakin dicekal, semakin memicu memacu aksi radikal.

Sudah kehendak sejarah, akhirnya rangkaian kejadian peristiwa lumpur Lapindo Brantas masuk kategori Bencana Politik Nasional. Minimal sebagai akumulasi bencana (lingkungan + alam + sosial budaya + ekonomi + infrastruktur + .......... ).

Dari antar periode lima tahunan kepemimpinan nasional, akhirnya penanganan kasus Lapindo Brantas menjadi Proyek Politik. Terlebih ada yang memakai cara penjajah Belanda, bahkan lebih cerdas, berklas, sistematis, masif dan berkelanjutan untuk membelenggu nasib rakyat. 

Banyolan politik yang masih bergulir dari kasus lumpur panas Lapindo adalah adanya modus dengan mengatasnamakan atau legitimitas kekuasaan melalui kebijakan taktis strategis penguasa. Sejarah direkayasa melupakan kasus dengan cenderung melindungi jasa satu pihak dan secara tak langsung semakin membenamkan korban langsung luapan lumpur panas. Media masa banyak yang tahu diri. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar