radikalisme membuat penguasa sesak
ideologi
Kehidupan berbangsa, bernegara dan
bermasyarakat tentu tak akan lepas dari gesekan horizontal maupun terjadinya
gesekan vertikal. Pemerintah secara yuridis “mampu” menterjemahkan aneka peristiwa
berbasis lema sosial. Khususnya dengan ditetapkannya UU 7/2012 tentang
Penanganan Konflik Sosial.
Bukan sekedar pada apa yang dimaksud
dengan Konflik Sosial dan selanjutnya, tetapi bukan pula mencari-cari biangnya,
walau disebut nyata, jelas, terang benderang di :
Pasal
5
Konflik dapat bersumber
dari :
a.
permasalahan yang
berkaitan dengan politik, ekonomi, dan sosial budaya;
b.
. . . . .
Disinyalir pihak yang berkompeten
saat menyusun UU 7/2012 sepakat menempatkan, memposisikan lema ‘politik’ di
ayat a bahkan sebagai sumber masalah pertama.dan/atau utama.
Belajar dari sejarah bencana sosial,
atau yang awalnya diklaim oleh pemerintah sebagai bencana sosial, namun
merembet ke semua aspek kehidupan.
Terhitung mulai tanggal 29 Mei 2006,
lokasi eksplorasi minyak oleh perusahaan minyak PT Lapindo Brantas Inc lumpur
di di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, provinsi Jawa
Timur, telah menyemburkan lumpur panas ke permukaan bumi. Sampai tulisan ini
ditulis, agaknya luberan, luapan, limpahan, limbahan lumpur Lapindo Brantas
tetap berjalan sebagaimana mestinya.
Semakin dibendung, semakin
menggelundung.
Semakin dicegah, semakin melimpah.
Semakin dicegat, semakin menyengat.
Semakin dimanipulasi, semakin
menjadi atraksi.
Semakin ditutup demi wibawa negara,
semakin meletup.
Semakin dicekal, semakin memicu
memacu aksi radikal.
Sudah kehendak sejarah, akhirnya
rangkaian kejadian peristiwa lumpur Lapindo Brantas masuk kategori Bencana
Politik Nasional. Minimal sebagai akumulasi bencana (lingkungan + alam + sosial
budaya + ekonomi + infrastruktur + .......... ).
Dari antar periode lima tahunan
kepemimpinan nasional, akhirnya penanganan kasus Lapindo Brantas menjadi Proyek
Politik. Terlebih ada yang memakai cara penjajah Belanda, bahkan lebih cerdas,
berklas, sistematis, masif dan berkelanjutan untuk membelenggu nasib
rakyat.
Banyolan politik yang masih bergulir
dari kasus lumpur panas Lapindo adalah adanya modus dengan mengatasnamakan atau
legitimitas kekuasaan melalui kebijakan taktis strategis penguasa. Sejarah direkayasa
melupakan kasus dengan cenderung melindungi jasa satu pihak dan secara tak
langsung semakin membenamkan korban langsung luapan lumpur panas. Media masa
banyak yang tahu diri. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar