menduga
apa dan/atau siapa musuh utama NKRI
Kiat
utama pemerintah mengalihkan isu atau sentimen negatif atas kasus yang
melibatkan penguasa, cukup sederhana yaitu dengan menghadirkan “musuh” di depan
hidung bangsa. Diperkuat dengan ujaran oknum penguasa, khususnya penguasa lalu
lintas politik dalam negeri dengan berbagai versi. Melalui dan memanfaatkan
corong media masa khusus pengganda.
Kiat contraflow
diberlakukan tanpa pemberitahuan kepada calon pembali. Harga berlaku sewaktu-waktu
mengalami penyesuain tanpa pengkabaran resmi.
Carut-marut
silang kaki saling jegal antar pembantu presiden menjadi menu utama politik. Lepas
bandar politik yang selalu gerah politik.
Di bawah
komado pemimpin besar revolusi mental, di bawah kendali kuasa usaha cakar naga
merah negara paling bersahabat, di bawah komunikasi konsulat jenderal dan
mantan jenderal dalam negeri, maka apapun yang akan terjadi, asal
konstitusional. Demi negara, atas nama kebijakan pemerintah, modus apapun
dengan berbasis pasal manapun menjadi tetap konstitusional. Tidak bisa
dipidanakan.
Apakah
pelaku tindak pidana korupsi (tipikor) atau tindakannya yang dinobatkan menjadi
musuh rakyat. Kendati tipikor merugikan negara, tetapi tidk serta-merta,
otomatis menjadi musuh negara.
Konon ada
Pasal lama, KUHP, berujar tertulis : Barang siapa mengadakan hubungan
dengan negara asing dengan maksud menggerakkannya untuk melakukan perbuatan
permusuhan atau perang terhadap negara, memperkuat niat mereka, menjanjikan
bantuan atau membantu mempersiapkan mereka untuk melakukan perbuatann
permufakatan atua perang terhadap negara, diancam dengan pidana penjara paling
lama lima belas tahun.
Bisa saja
di periode 2014-2019, ada yang merasa tersinggung jika dimaksud sebagai pihak
yang bisa berhubungan dengan negara asing. Karena tidak mungkin seorang rakyat
mampu, bisa, dapat berhubungan dengan negara asing. Begitu juga sebaliknya,
seorang rakyat yang sedang duduk melamun, tahu-tahu didatangi orang asing.
Kecuali turis asing yang kesasar di daerahnya.
Rakyat
tidak tahu persis, pihak mana saja di dalam negeri yang sering ke luar negeri,
khususnya ke negara tertentu atau satu negara saja. Sesuai dengan kepentingan
dan urusannya, yang tidak terkait dengan kepentingan rakyat.
Efek
domino tipikor, utang luar negeri (sebagai hasil konektivitas dengan negara
asing), dana parpol, plus 1.500 importir nakal rugikan negara (Republika, Kamis,
13 Juli 2017, halaman 15 ‘ekonomi’) menjadikan generasi yang belum lahir
terbebani beban politik negara. Kebijakan politik negara yang bebas aktif, yang
mempersilahkan investor asing bebas melenggang masuk ke NKRI.
Jujur saja, selama
periode 2014-2019, gonjang-ganjing politik dalam negeri didominasi lelucon
politik. Menghadapi kemelut lokal, presiden terkadang malah urun komentar.
Wakil presiden yang ahli celetuk, kesaing. Lebih heboh lagi. Media daring
memang ciri khasnya memproduksi berita garing. Maunya menjilat tetapi sejatinya
menghujat.
Masih ingat sinyelemen utawa ngudal
piwulang ki dalang Sobopawon, di era mégatéga, mégakasus, mégabencana 2014-2019 negara yang
serba multi, penduduk Indonesia akan melihat ulah laku, tingkah laku, perilaku
penyelenggara negara dari dan atau sebagai pelaku, pekerja, pegiat, penggila,
petugas partai, masuk ketegori samimawon.
masuk kategori tiwas édan tenan tetep ora keduman.
Dosa
politik itu urusan Allah swt. Tentu, pemerintah atau penguasa tidak akan mampu
memuaskan semua rakyat. Jangankan rakyat, memuaskan hati pihak yang berjasa
pada terpilihnya sang presiden dan wakil presiden, masih tambal sulam.
Sampai-sampai barisan presiden berani ambil “jatah”-nya secara terang-terangan.
Berani malu.
Bahkan
ada oknum yang berani ambil melebihi “jatah”-nya. Terbiasa di sistem lalu
lintas atau medan laga, jangan kedahuluan oleh pihak lawan. Sekecil apapun
potensi lawan, basmi di tempat.
Agaknya,
cukup disekiankan tulisan ini. Kebanyakan malah bikin jenuh. Kepanjangan malah
ditanggapi dengan yang bukan-bukan. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar