Halaman

Kamis, 13 Juli 2017

menduga apa dan/atau siapa musuh utama NKRI



menduga apa dan/atau siapa musuh utama NKRI

Kiat utama pemerintah mengalihkan isu atau sentimen negatif atas kasus yang melibatkan penguasa, cukup sederhana yaitu dengan menghadirkan “musuh” di depan hidung bangsa. Diperkuat dengan ujaran oknum penguasa, khususnya penguasa lalu lintas politik dalam negeri dengan berbagai versi. Melalui dan memanfaatkan corong media masa khusus pengganda.

Kiat contraflow diberlakukan tanpa pemberitahuan kepada calon pembali. Harga berlaku sewaktu-waktu mengalami penyesuain tanpa pengkabaran resmi.

Carut-marut silang kaki saling jegal antar pembantu presiden menjadi menu utama politik. Lepas bandar politik yang selalu gerah politik.

Di bawah komado pemimpin besar revolusi mental, di bawah kendali kuasa usaha cakar naga merah negara paling bersahabat, di bawah komunikasi konsulat jenderal dan mantan jenderal dalam negeri, maka apapun yang akan terjadi, asal konstitusional. Demi negara, atas nama kebijakan pemerintah, modus apapun dengan berbasis pasal manapun menjadi tetap konstitusional. Tidak bisa dipidanakan.

Apakah pelaku tindak pidana korupsi (tipikor) atau tindakannya yang dinobatkan menjadi musuh rakyat. Kendati tipikor merugikan negara, tetapi tidk serta-merta, otomatis menjadi musuh negara.

Konon ada Pasal lama, KUHP, berujar tertulis : Barang siapa mengadakan hubungan dengan negara asing dengan maksud menggerakkannya untuk melakukan perbuatan permusuhan atau perang terhadap negara, memperkuat niat mereka, menjanjikan bantuan atau membantu mempersiapkan mereka untuk melakukan perbuatann permufakatan atua perang terhadap negara, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Bisa saja di periode 2014-2019, ada yang merasa tersinggung jika dimaksud sebagai pihak yang bisa berhubungan dengan negara asing. Karena tidak mungkin seorang rakyat mampu, bisa, dapat berhubungan dengan negara asing. Begitu juga sebaliknya, seorang rakyat yang sedang duduk melamun, tahu-tahu didatangi orang asing. Kecuali turis asing yang kesasar di daerahnya.

Rakyat tidak tahu persis, pihak mana saja di dalam negeri yang sering ke luar negeri, khususnya ke negara tertentu atau satu negara saja. Sesuai dengan kepentingan dan urusannya, yang tidak terkait dengan kepentingan rakyat.

Efek domino tipikor, utang luar negeri (sebagai hasil konektivitas dengan negara asing), dana parpol, plus 1.500 importir nakal rugikan negara (Republika, Kamis, 13 Juli 2017, halaman 15 ‘ekonomi’) menjadikan generasi yang belum lahir terbebani beban politik negara. Kebijakan politik negara yang bebas aktif, yang mempersilahkan investor asing bebas melenggang masuk ke NKRI.

Jujur saja, selama periode 2014-2019, gonjang-ganjing politik dalam negeri didominasi lelucon politik. Menghadapi kemelut lokal, presiden terkadang malah urun komentar. Wakil presiden yang ahli celetuk, kesaing. Lebih heboh lagi. Media daring memang ciri khasnya memproduksi berita garing. Maunya menjilat tetapi sejatinya menghujat.

Masih ingat sinyelemen utawa ngudal piwulang ki dalang Sobopawon, di era mégatéga, mégakasus, mégabencana 2014-2019 negara yang serba multi, penduduk Indonesia akan melihat ulah laku, tingkah laku, perilaku penyelenggara negara dari dan atau sebagai pelaku, pekerja, pegiat, penggila, petugas partai, masuk ketegori samimawon. masuk kategori tiwas édan tenan tetep ora keduman.

Dosa politik itu urusan Allah swt. Tentu, pemerintah atau penguasa tidak akan mampu memuaskan semua rakyat. Jangankan rakyat, memuaskan hati pihak yang berjasa pada terpilihnya sang presiden dan wakil presiden, masih tambal sulam. Sampai-sampai barisan presiden berani ambil “jatah”-nya secara terang-terangan. Berani malu.

Bahkan ada oknum yang berani ambil melebihi “jatah”-nya. Terbiasa di sistem lalu lintas atau medan laga, jangan kedahuluan oleh pihak lawan. Sekecil apapun potensi lawan, basmi di tempat.

Agaknya, cukup disekiankan tulisan ini. Kebanyakan malah bikin jenuh. Kepanjangan malah ditanggapi dengan yang bukan-bukan. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar