Halaman

Jumat, 07 Juli 2017

korupsi Nusantara, semakin diusut semakin kusut, kisut, kalang kabut



korupsi Nusantara, semakin diusut semakin kusut, kisut, kalang kabut

Semakin reformis (kuasa, kaya, kuat) anak bangsa mempraktikkan tindak pidana korupsi – baik secara individu (tetapi mempunyai jaring pengaman yang susah ditembus hukum) maupun secara kolektif kolegial, gotong royong – maka  hukum semakin ketinggalan zaman, uzur, usang, aus sebelum waktunya.

Tata niaga korupsi, dari hulu mulai dengan upaya mengkerdilkan peran KPK oleh pihak tertentu (tak terkeculai episode Buaya vs Cicak) sampai hilir dengan contoh nyata mégakasus, mégakorupsi, mégaproyek KTP-elektronik, sebagai bukti bahwa korupsi (komplitnya adalah KKN) merupakan komponen utama dari negara multipartai.

Proses hukum atas kasus tipikor, semakin diurut mau melacak siapa dalangnya, malah semakin surut semangat awak penegak hukum. Karena tuntutan pasar, desakan publik dan atas anjuran, permintaan, kehendak rakyat maupun sentimem positif maka seolah-olah aparat penegak hukum sibuk mengolah perkara. Tak kurang dukungan pemberitaan aneka awak media berbayar yang sangat ahli olah dan aduk emosi.

Kalang kabut yang menerpa poros kekuasaan, ring pertama, lingkaran setan, garis komando, arah angin, bagi hasil sampai batasan di belakang layar, investor politik, provokator resmi, mana dalang mana wayang, aktor intelektual, koordinator lapangan, pembisik, orang dekat, penentu kebijakan, penyandang dana, pasukan berani mati, ramuannya menjadi suatu predikat, jabatan dan gengsi nan prestisius. Puncaknya berada di kalangan istana, entah istana kepresidenan, istana wakil rakyat, istana hamba hukum, istana tanpa takhta. Memasuki musim pancaroba antar bencana politik, orang menjadi kalang kabut. Urusan menjadi jelas ketika kita berurusan dengan tanah, berkalang tanah.

Jika kasus tidak bisa dipetieskan, tunggu sampai ybs berkalang tanah maka kasus gugur demi hukum.

Bangsa ini bukan bangsa pelupa dan pemaaf. Rekonsiliasi dengan oknum koruptor bisa terjadi dan memang terjadi. Hanya bukan untuk konsumsi umum, apalagi telinga rakyat permanent underclass, masyarakat uneducated people maupun stigma atau pencitraan lainnya.

Beraninya hanya dengan rakyat kecil. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar