revolusi
mental vs evolusi wingko babat Semarang
Pertama
kali atau memori awal tentang makanan berat khas Semarang – wingko babat – yaitu
ukurannya. Tangannya kecil saya saat itu, karena usia belum SR, wingko babat
lebih luas daripada telapak tangan saya. Ayah saya makan satu biji sudah puas,
tidak tanduk (bhs Jawa, artinya tambah, menambah).
Beberapa
puluh tahun kemudian, setelah beberapa kali gilir pemerintah atau presiden,
ahad 2 Juli 2017 pukul 10:10 kembalilah anak dan isteri dari wisata mudik di
pulau Jawa. Lintas provinsi kecuali provinsi Jawa Timur. Karena keterbatasan
tiket pesawat, terpaksa ke Semarang sebagai kota transit. Lanjut ke ibukota
DIY, kota kelahiranku.
Oleh-oleh
atau buah tangan dari isteri, wingko babat. Satu kantung kertas, warna dasar
hijau, siap jinjing. Berlogo gambar pesawat terbang. Zaman doeloe, awal kenal
wingko babat, bungkus kertas bergambar kereta api. Karena dominan dijual di
stasiun k.a.
Sebagai
industri rumah tangga, yang masih bisa bertahan menghadapi persaingan jajanan
lokal, wingko babat tetap eksis. Menyesuaikan diri dengan tantangan zaman. Selain
pada logo dan warna dasar biru agak tua. Ada kode halal BP POM MUI, kode registrasi
P.IRT dan ‘expired 5 hari’.
Karena
konsumen atau dijual di bandara, logo menyesuaikan. Ukuran kantung kertas layak
dibawa ke kabin. Sekaligus promosi. Yang terasa ada evolusi, selain pada
kemasan bungkus makanan. Makanan tetap di bungkus dengan kertas minyak,
dimasukkan ke semacam amplop kertas. Ukurannya yang paling terasa walau aroma
khasnya seperti tidak berubah.
Waktu
buka amplop isi satu biji wingko babat, timbul rasa curiga, seberapa
dimensinya. Memang terasa ringan di tangan. Jangankan 1 biji, 1 kantung bisa
diangkat dengan satu jari. Iseng saya masukkan ke mulut, tanpa di gigit. Rasanya
seperti pas diletakkan di atas lidah. Langsung dikunyah tanpa sensor proses gigitan.
Tidak perlu sedikit demi sedikit. Secuwil demi secuwil, itupun kalau bisa
dicuwil, karena agak berminyak. Agak kuwatir kalau wingko babat masuk kategori
makanan ringan, jajanan pasar yang dijual per biji dalam bungkus plastik tanpa
merk atau malah bisa dijual kiloan.
Saya
tidak tahu persis dengan nasib kawan dekat wingko babat, sebagai makanan khas
Semarang, yaitu lumpia. Rasanya dalam
ukuran tidak mengalami degradasi. waktu ikut rombongan reuni teman SMP, ada
yang dari Semarang. Membawa lumpia dalam kemasan dus. Agak lupa.
Saya
tidak tahu, apakah ada kejadian yang sebaliknya, makanan yang dimensinya malah membesar.
Bisa lipat dari ukuran pertama kali diketemukan atau diproduksi. Atau tampil dalam
berbagai alternatif ukuran dan bentuk.
Bagaimana
dengan bakpia Yogya. Silahkan pembaca urun sumbang pengalaman. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar