Halaman

Senin, 03 Juli 2017

revolusi mental vs evolusi wingko babat Semarang



revolusi mental vs evolusi wingko babat Semarang

Pertama kali atau memori awal tentang makanan berat khas Semarang – wingko babat – yaitu ukurannya. Tangannya kecil saya saat itu, karena usia belum SR, wingko babat lebih luas daripada telapak tangan saya. Ayah saya makan satu biji sudah puas, tidak tanduk (bhs Jawa, artinya tambah, menambah).

Beberapa puluh tahun kemudian, setelah beberapa kali gilir pemerintah atau presiden, ahad 2 Juli 2017 pukul 10:10 kembalilah anak dan isteri dari wisata mudik di pulau Jawa. Lintas provinsi kecuali provinsi Jawa Timur. Karena keterbatasan tiket pesawat, terpaksa ke Semarang sebagai kota transit. Lanjut ke ibukota DIY, kota kelahiranku.

Oleh-oleh atau buah tangan dari isteri, wingko babat. Satu kantung kertas, warna dasar hijau, siap jinjing. Berlogo gambar pesawat terbang. Zaman doeloe, awal kenal wingko babat, bungkus kertas bergambar kereta api. Karena dominan dijual di stasiun k.a.

Sebagai industri rumah tangga, yang masih bisa bertahan menghadapi persaingan jajanan lokal, wingko babat tetap eksis. Menyesuaikan diri dengan tantangan zaman. Selain pada logo dan warna dasar biru agak tua. Ada kode halal BP POM MUI, kode registrasi P.IRT dan ‘expired 5 hari’.

Karena konsumen atau dijual di bandara, logo menyesuaikan. Ukuran kantung kertas layak dibawa ke kabin. Sekaligus promosi. Yang terasa ada evolusi, selain pada kemasan bungkus makanan. Makanan tetap di bungkus dengan kertas minyak, dimasukkan ke semacam amplop kertas. Ukurannya yang paling terasa walau aroma khasnya seperti tidak berubah.

Waktu buka amplop isi satu biji wingko babat, timbul rasa curiga, seberapa dimensinya. Memang terasa ringan di tangan. Jangankan 1 biji, 1 kantung bisa diangkat dengan satu jari. Iseng saya masukkan ke mulut, tanpa di gigit. Rasanya seperti pas diletakkan di atas lidah. Langsung dikunyah tanpa sensor proses gigitan. Tidak perlu sedikit demi sedikit. Secuwil demi secuwil, itupun kalau bisa dicuwil, karena agak berminyak. Agak kuwatir kalau wingko babat masuk kategori makanan ringan, jajanan pasar yang dijual per biji dalam bungkus plastik tanpa merk atau malah bisa dijual kiloan.

Saya tidak tahu persis dengan nasib kawan dekat wingko babat, sebagai makanan khas Semarang, yaitu lumpia. Rasanya  dalam ukuran tidak mengalami degradasi. waktu ikut rombongan reuni teman SMP, ada yang dari Semarang. Membawa lumpia dalam kemasan dus. Agak lupa.

Saya tidak tahu, apakah ada kejadian yang sebaliknya, makanan yang dimensinya malah membesar. Bisa lipat dari ukuran pertama kali diketemukan atau diproduksi. Atau tampil dalam berbagai alternatif ukuran dan bentuk.

Bagaimana dengan bakpia Yogya. Silahkan pembaca urun sumbang pengalaman. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar