Jalan Pintas Demokrasi vs Demokrasi Jalan Sepintas
Sistem pendidikan nasional pernah
mengalami masa fenomenal STIA atau ‘Sekolah Tidak, Ijazah Ada’. Apalagi karena
ijazah hanya sebagai syarat administrasi. Termasuk syarat administrasi
mendaftar jadi calon presiden. Bukan karena ada ijazah ‘aspal’. Bukan karena
ijazah bisa ‘dihargai’ atau ada harga obralnya. Sejalan dengan pendidikan
formal ada sistem Paket. Di Indonesia seolah ada jalan pintas, jalan pendek,
jalan potong kompas untuk menjadi orang.
Tak terkecuali, justru pola
demokrasi Nusantara, kesibukan lalu lintas tata niaga ideologi, didominasi pola
atau versi jalan pintas. Ironis binti miris jika modus tinggal glanggang colong playu, ini mbahé jalan
pintas. Hanya yang mempunyai nyali di atas orang normal yang berani
melakukannya. Atau turun jabatan sebelum jatuh tempo karena rumput tetangga
lebih ranum, itu namanya jalan pintas.
Itu lagi, itu lagi, seolah tak ada
yang lebih jelek. Mesti soal demokrasi. Lembaga survei sekampiun apapun, akan
kesulitan menghasilkan angin surga bahwa definisi formal konstitusional,
formulasi jabaran akademis, menurut pendapat ahlinya tentang apa itu demokrasi
Nusantara serta sampai bagaimana perwujudan dan praktik demokrasi, nyatanya di
sisi lain menjadi faktor penyubur anak bangsa menjadi penyuka jalan pintas.
Reformasi birokrasi atau bahkan
ramuan ajaib revolusi mental menjadi percuma, hambar, garing dengan pratik
jalan pintas. Sistem karir, perintisan dari bawah, pengkaderan, atau berbagai
sistem yang telah berjalan, menjadi tak berarti. Mungkinkah lelang jabatan yang
‘saudara dekat’ atau ‘kerabat’ jalan pintas, sebagai pemacu dan pemicunya. Uji kepatuhan
dan keloyalan oleh wakil rakyat semakin memformalkan jalan pintas.
Orang pun tak perlu merintis “dari
angka nol yang pak/bu” untuk memenuhi masa depannya. Memakai batu loncatan.
Bahasa kunonya adalah dengan cara menang merek atau merek menang. Bentuk
lainnya adalah aji mumpung vs mumpung aji. Banyak praktik yang susah dilacak
siapa pencetusnya. Tak layak diungkap karena menyangkut martabat, kehormatan,
harga diri ybs. Malah bisa dianggap tebar fitnah.
Jalan pintas untuk meraih predikat
juara, pasti juaranya juga hanya sepintas. Kalau PSSI ternyata selama ini mampu
bertahan menjadi juara nasional, itu lain pasal, walau kasus sama.
Kalau oknum pelaku tindak pidana
korupsi, jalan pintas bagaimana yang dipraktikkannya. Bingung dan
membingungkan. Bahkan ybs tidak tahu persis kenapa, mengapa berbuat seperti
itu. Bahkan ada yang merasa dizalimi oleh konco dw, bolo dw. Dijadikan
korban. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar