Halaman

Senin, 17 Juli 2017

Jalan Pintas Demokrasi vs Demokrasi Jalan Sepintas



Jalan Pintas Demokrasi vs Demokrasi Jalan Sepintas

Sistem pendidikan nasional pernah mengalami masa fenomenal STIA atau ‘Sekolah Tidak, Ijazah Ada’. Apalagi karena ijazah hanya sebagai syarat administrasi. Termasuk syarat administrasi mendaftar jadi calon presiden. Bukan karena ada ijazah ‘aspal’. Bukan karena ijazah bisa ‘dihargai’ atau ada harga obralnya. Sejalan dengan pendidikan formal ada sistem Paket. Di Indonesia seolah ada jalan pintas, jalan pendek, jalan potong kompas untuk menjadi orang.

Tak terkecuali, justru pola demokrasi Nusantara, kesibukan lalu lintas tata niaga ideologi, didominasi pola atau versi jalan pintas. Ironis binti miris jika modus tinggal glanggang colong playu, ini mbahé jalan pintas. Hanya yang mempunyai nyali di atas orang normal yang berani melakukannya. Atau turun jabatan sebelum jatuh tempo karena rumput tetangga lebih ranum, itu namanya jalan pintas.

Itu lagi, itu lagi, seolah tak ada yang lebih jelek. Mesti soal demokrasi. Lembaga survei sekampiun apapun, akan kesulitan menghasilkan angin surga bahwa definisi formal konstitusional, formulasi jabaran akademis, menurut pendapat ahlinya tentang apa itu demokrasi Nusantara serta sampai bagaimana perwujudan dan praktik demokrasi, nyatanya di sisi lain menjadi faktor penyubur anak bangsa menjadi penyuka jalan pintas.

Reformasi birokrasi atau bahkan ramuan ajaib revolusi mental menjadi percuma, hambar, garing dengan pratik jalan pintas. Sistem karir, perintisan dari bawah, pengkaderan, atau berbagai sistem yang telah berjalan, menjadi tak berarti. Mungkinkah lelang jabatan yang ‘saudara dekat’ atau ‘kerabat’ jalan pintas, sebagai pemacu dan pemicunya. Uji kepatuhan dan keloyalan oleh wakil rakyat semakin memformalkan jalan pintas.

Orang pun tak perlu merintis “dari angka nol yang pak/bu” untuk memenuhi masa depannya. Memakai batu loncatan. Bahasa kunonya adalah dengan cara menang merek atau merek menang. Bentuk lainnya adalah aji mumpung vs mumpung aji. Banyak praktik yang susah dilacak siapa pencetusnya. Tak layak diungkap karena menyangkut martabat, kehormatan, harga diri ybs. Malah bisa dianggap tebar fitnah.

Jalan pintas untuk meraih predikat juara, pasti juaranya juga hanya sepintas. Kalau PSSI ternyata selama ini mampu bertahan menjadi juara nasional, itu lain pasal, walau kasus sama.

Kalau oknum pelaku tindak pidana korupsi, jalan pintas bagaimana yang dipraktikkannya. Bingung dan membingungkan. Bahkan ybs tidak tahu persis kenapa, mengapa berbuat seperti itu. Bahkan ada yang merasa dizalimi oleh konco dw, bolo dw. Dijadikan korban. [HaèN]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar