Tragedi Subsidi Ideologi vs Biaya
Politik
Karakter anak bangsa, kalau sudah
ada maunya, apapun dilakukan – bahkan aneka bentuk syarat pengorbanan dituruti – asal
kemauannya terwujud. Namun jika
cita-citanya tercapai seolah jadi lupa daratan, lupa diri, lupa asal muasalnya.
Ikhwal di atas berlaku umum di
panggung politik. Artinya, tata niaga ideologi atau perpolitikan Indonesia,
membuktikan bahwa argo biaya politik berdetak sejak sebuah partai politik baru
dalam gagasan. Masih dalam angan-angan, di atas kertas.
Kalkulasi politik sangat menentukan
keberanian seseorang atau kelompok untuk mendirikan partai politik. Target pertama
dan utama agar bisa ikut pesta demokrasi lima tahunan. Sebagai peserta resmi
pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden. Pilkada yang serentak pun jadi incaran
nantinya setelah punya kursi di wakil rakyat daerah. Atau jadi investor politik bagi putera daerah
yang minat, berambisi jadi orang nomor satu atau dua di daerahnya.
Biaya politik tingkat nasional tak
lepas dari intervensi investor politik mancanegara, khususnya dari negara
terbanyak populasinya. Negara adidaya yang memang sudah jadi langganan, tentu
tak akan berpangku tangan.
Seperti di dunia olah raga, untuk
merebut gelar juara bisa dirintis dari bawah. Yang susah, sulit justru adalah
mempertahankan gelar jawara.
Di pentas, panggung, industri,
syahwat politik Nusantara, seseorang
bisa saja mendadak jadi juara. Tanpa perlu berkeringat, berpeluh. Tidak perlu
berjibaku. Modal biaya politik telah menghantarkannya ke kursi kekuasaan.
Jika ada partai politik yang sedang
berkuasa di eksekutif, yudikatif atau sedang menikmati kursi kekuasaan legislatif
dari pusat sampai daerah, berminat menambahkan subsidi ideologi, yang dihitung
berdasarkan satu suara pemilih dihargai sekian ribu rupiah. Artinya, biar tekor
asal kesohor. Meningkat menjadi biar negara tekor yang penting tetap punya pamor
di mata rakyat. Biar rakyat melarat yang penting parpol bisa menjaga martabat. Biar
kesejahteraan rakyat terpuruk yang penting parpol bisa mabuk, bisa main tumpuk.
Ternyata sebuah partai politik untuk
mempertahankan gelar juara, mempertahankan kursi kekuasaan, malah butuh dana. Apa
arti biaya politik. Apa karena oknum anggotanya terkena razia OTT KPK atau ada
faktor lain bak udang di balik batu.Seperti orang yang mau punya kerja atau
hajat, pas pesta pernikahan dirayakan besar-besaran. Pasca pesta bangkrut, gulung
tikar, dikejar réntenir.
Rasanya rakyat malah menjadi malu jika dinilai ada harga atau tarifnyanya sebagai
dalih masukan dana parpol. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar