Halaman

Senin, 10 Juli 2017

Tragedi Subsidi Ideologi vs Biaya Politik



Tragedi Subsidi Ideologi vs Biaya Politik

Karakter anak bangsa, kalau sudah ada maunya, apapun dilakukan – bahkan  aneka bentuk syarat pengorbanan dituruti – asal  kemauannya terwujud. Namun jika cita-citanya tercapai seolah jadi lupa daratan, lupa diri, lupa asal muasalnya.

Ikhwal di atas berlaku umum di panggung politik. Artinya, tata niaga ideologi atau perpolitikan Indonesia, membuktikan bahwa argo biaya politik berdetak sejak sebuah partai politik baru dalam gagasan. Masih dalam angan-angan, di atas kertas.

Kalkulasi politik sangat menentukan keberanian seseorang atau kelompok untuk mendirikan partai politik. Target pertama dan utama agar bisa ikut pesta demokrasi lima tahunan. Sebagai peserta resmi pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden.  Pilkada yang serentak pun jadi incaran nantinya setelah punya kursi di wakil rakyat daerah.  Atau jadi investor politik bagi putera daerah yang minat, berambisi jadi orang nomor satu atau dua di daerahnya.

Biaya politik tingkat nasional tak lepas dari intervensi investor politik mancanegara, khususnya dari negara terbanyak populasinya. Negara adidaya yang memang sudah jadi langganan, tentu tak akan berpangku tangan.

Seperti di dunia olah raga, untuk merebut gelar juara bisa dirintis dari bawah. Yang susah, sulit justru adalah mempertahankan gelar jawara.

Di pentas, panggung, industri, syahwat politik Nusantara,  seseorang bisa saja mendadak jadi juara. Tanpa perlu berkeringat, berpeluh. Tidak perlu berjibaku. Modal biaya politik telah menghantarkannya ke kursi kekuasaan.

Jika ada partai politik yang sedang berkuasa di eksekutif, yudikatif atau sedang menikmati kursi kekuasaan legislatif dari pusat sampai daerah, berminat menambahkan subsidi ideologi, yang dihitung berdasarkan satu suara pemilih dihargai sekian ribu rupiah. Artinya, biar tekor asal kesohor. Meningkat menjadi biar negara tekor yang penting tetap punya pamor di mata rakyat. Biar rakyat melarat yang penting parpol bisa menjaga martabat. Biar kesejahteraan rakyat terpuruk yang penting parpol bisa mabuk, bisa main tumpuk.

Ternyata sebuah partai politik untuk mempertahankan gelar juara, mempertahankan kursi kekuasaan, malah butuh dana. Apa arti biaya politik. Apa karena oknum anggotanya terkena razia OTT KPK atau ada faktor lain bak udang di balik batu.Seperti orang yang mau punya kerja atau hajat, pas pesta pernikahan dirayakan besar-besaran. Pasca pesta bangkrut, gulung tikar, dikejar réntenir.

Rasanya rakyat malah menjadi malu jika dinilai ada harga atau tarifnyanya sebagai dalih masukan dana parpol. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar