demokrasi negara
berdasarkan hukum, kalah menang ditentukan suara vs salah benar ditentukan Rp
Betapa bangganya presiden RI saat
itu, ketika tahu bahwa Indonesia sebagai anggota PBB, merupakan satu-satunya
negara yang mempunyai Pancasila. Semakin besar kepala ketika tahu kalau
penggali Pancasila adalah para pendiri bangsa yang dimotori oleh bapak
moyangnya.
Merasa punya ilmu yang diturunkan,
diwariskan secara biologis dengan kandungan, kadar, komposisi ideologis di atas
rata-rata nasional, membuatnya jadi serba merasa bisa. Sebagai orangtua, wajar
kalau bilang ke anaknya, bahwa anaknya adalah anak pandai. Untuk membesarkan
hati sang anak, karena saat itu tidak bisa lanjut kuliahnya.
Berkat bimbingan dan bombongan sang
ayah, akhirnya orang hanya kasihan dan iba terhadapnya. Tapi rasa iba dan
kasihan rakyat di awal reformasi tidak sebagai atau tepatnya malah tidak
dimanfaatkan untuk kemanfaatan bagi rakyat.
Hukum politik saat itu, di pemilu
1999, yang menang otomatis oknum ketum parpolnya menjadi presiden. Karena bukan
pilpres langsung, masih lewat suara MPR maka terjadilah apa yang sudah terjadi.
Relam jejak di satu periode 1999-2004 sebagai wapres dan presiden, sebagai
modal politik maju.
Hukum politik mendominasi berbagai
hukum buatan manusia yang laku dan berlaku di Nusantara. Manusia politik selalu
kalah langkah dengan manusia ekonomi yang sudah klas dunia. Rekonsiliasi semangkin
memformalkan langkah sang naga merah untuk semangkin mencengkeram Nusantara.
Ingat sejarah, penjajah bangsa Belanda
menjadikan bangsa Tionghwa yang memang punya bakat dagang apa saja, sebagai
warga negara klas 2 setelah Belanda atau bangsa eropa pada umumnya. Walhasil bangsa
pribumi menjadi warga negara klas papan bawah.
Sifat ketergantungan pada bangsa
asing masih terasa sampai periode 2014-2019. Bukan soal Utang Luar Negeri (ULN)
saja kawan. Bisa-bisa dan memang bisa NKRI siap jadi negara bagian dari negara
terbanyak populasinya. Negara yang paling bersahabat dengan Nusantara.
Selain ULN yang diperparah dengan
kasus kerugian (uang) negara oleh akibat tipikor, semakin diusut semakin kusut.
[HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar