lalulintas politik nasional rawan dari dalam
Bukan pilih kasih atau pilah kisah. Namun
begitulah kurikulum dan pendidikan politik lokal. Tidak perlu teori atau
mengacu pendapat para ahli, pemakar, pemikir. Perbanyak praktik. Kejadian perkara
di lapangan bisa jadi guru.
Mau yang halusan, dalam bentuk bubuk
tapi bukan instan, sampai yang masih terasa remukan, serpihan, butir terkecil
bijinya. Memangnya mau menyedu bubuk kopi.
Mau kopi bening, bukan encer. Ampas kopi
segala kualitas dioplos. Ambil secukupnya, seperlunya. Karena statusnya, bisa
2-3x porsi normal. Masukkan ke dalam gelas, kalau ke dalam cangkir, bisa
setengah cangkir terisi serbuk koalisi kopi. Tuang air mendidik ke dalam gelas.
Aduk dengan arah putaran ke kiri. Berlawanan jika aduk kopi awal. Tutup dan
tunggu siap seruput.
Ilmu Bhayangkara yang didapat
langsung dari sekolah di luar negeri, ada yang kurang cocok dengan cuaca di
Nusantara. Penggila kopi, ada yang fanatik dengan jenis kopi. Mereka tak
terpengaruh dengan merek. Kalau perlu berburu ke kebon kopi milik rakyat.
Jadi sekolah Bhayangkara dalam
negeri, lokal, bersubsidi sudah dianggap layak untuk menghasilkan pengatur
lalulintas angkutan barang dan/atau manusia.
Ironis binti tragis, Bhayangkara
yang awalnya diformat sebagai dari, oleh, untuk, karena rakyat, akibat revolusi
mental mendapat kenaikan stratra yang luar biasa, menjadi alat penguasa. Tidak saya
uraikan panjang pendeknya. Berakibat bisa-bisa memang bisa menjadi ajang tempat
kejadian perkara tanpa pasal.
Ampas kopi yang sudah mengalami
proses 3R, masih bermanfaat sebagai pupuk tanaman di dalam pot. Akhirnya,
proses cuci otak melalui “pendidikan politik” menjadikan alimnusnya memiliki
daya patuh, daya taat, daya loyal yang siap pasang badan mengamankan rute
penguasa. Bagaimana yang kebanyakan minum kopi, bisa mabuk darat, mabuk laut,
mabuk udara dan mabuk tilang. Buaya kok dilawan.
Akibatnya, anak bangsa, putera
daerah mengalami panas dalam, retak dalam, luka dalam, memar dalam, pendarahan
dalam . . . [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar