Halaman

Kamis, 20 Juli 2017

Dilema Kader Partai, Cari Muka vs Cari Aman



Dilema Kader Partai, Cari Muka vs Cari Aman

Namanya anggota sebuah partai politik yang telah mengantongi sertifikat kader, otomatis sebagai aset partai. Terlebih jika sistem pengkaderan berjalan normatif. Artinya, ada praktik perintisan dari bawah. Misal, diawali dengan sebagai pengurus satu periode tingkat paling bawah, apakah itu anak ranting atau di tingkat desa/kelurahan.

Diperkaya, diperkuat dengan pernah mengikuti pendidikan dan pelatihan dasar anggota pola sekian jam. Mengikuti pemantapan potensi serta stabilisasi kemurnian ideologi dengan pendidikan politik praktis.

Dengan beberapa butir syarat di atas, akan diperoleh kader yang dengan modal keringat sendiri akan peka terhadap nafas kehidupan nyata di masyarakat. Minimal akan tahu sedikit banyak ruang gerak dan bidang garap yang akan ditangani partainya.

Praktik yang terjadi, ada beberapa modus yang ada untuk meraih status kader. Bahkan, lepas dari fakta bahwa tidak hanya untuk menjadi kader, bahkan untuk menjadi ketua umum sebuah partai politik. Asal kuat modal, atau ada bantuan dari pemodal, bisa mendirikan sebentuk partai politik sesuai peraturan perundang-undangan.

Kilas balik perjuangan, rekam jejak eksistensi partai politik yang pernah ada dan masih ada di NKRI. Khususnya pada sistem rekuitmen anggota dan pola pengkaderan.

Singkat kata, sejalan dengan tuntutan reformasi, maka budaya jalan pintas menjadi pedoman bagi anggota partai. Orang tidak perlu susah payah merintis dari bawah. Tidak usah peras keringat, buang waktu  mengawali langkah catur politik mulai dari angka nol, start sejak titik nol.

Terbukti, banyak yang masuk menjadi nominator calon wakil rakyat tingkat kabupaten, tingkat provinsi maupun tingkat nasional dan/atau jadi kandidat utama bakal calon kepala daerah.

Faktor eksternal atau efek domino Indonesia sebagai negara multipartai, menjadikan semua partai mempunyai banyak pesaing untuk merebutkan kursi yang sama. Akhirnya, mau tak mau, kendati ada koalisi parpol, sejatinya telah terjadi persaingan bebas.

Persaingan bebas menjadikan partai mengirimkan “kader terbaik” yang notabene mempunyai nilai jual komersial, bisa menguntungkan perusahaan. Kalkulasi biaya politik yang akan dikeluarkan, sesuai pertimbangan bahwa kadar dan daya serap, daya resap kader layak ditandingkan. Tidak sekedar asal pasang nomor jadi, asal tebak nomor atau sekedar untung-untungan.

Secara internal kebijakan partai sebagai harga mati. Bahkan partai yang ketua umumnya mempunyai hak prerogatif, dipastikan kader harus pandai-pandai cari muka. Jika sang kader sudah menduduki kursi penyelenggara negara – baik di legislatif, eksekutif maupun yudikatif – harus menyesuaikan diri dengan fakta politik transaksional. Tidak ada makan siang gratis. Biaya politik yang dikeluarkan, baik secara pribadi maupun khususnya oleh mesin partai, tentu ada konsekuensi logisnya. Tidak sekedar balik modal dalam satu periode.

Jangan heran, jika ada oknum kader partai yang terjebak pada pasal jual beli kursi, sangat dimungkinkan akan bermain aman, cari aman dalam memainkan angka-angka kalkulasi politik.  Selain harus pandai-pandai “sudah menimang sebelum meminang”, juga harus mampu memprediksi untuk maju ke periode berikutnya. Tidak tanggung-tanggung untiuk “mandi uang”, sekalian basah kuyup. Menceburkan diri seutuhnya. Jangan kepalang tanggung.

Terlebih, bahasa politik dan kamus politik yang dominan dalam tata gaul berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar