Dilema Kader Partai, Cari Muka vs Cari Aman
Namanya anggota sebuah partai
politik yang telah mengantongi sertifikat kader, otomatis sebagai aset partai. Terlebih
jika sistem pengkaderan berjalan normatif. Artinya, ada praktik perintisan dari
bawah. Misal, diawali dengan sebagai pengurus satu periode tingkat paling
bawah, apakah itu anak ranting atau di tingkat desa/kelurahan.
Diperkaya, diperkuat dengan pernah
mengikuti pendidikan dan pelatihan dasar anggota pola sekian jam. Mengikuti pemantapan
potensi serta stabilisasi kemurnian ideologi dengan pendidikan politik praktis.
Dengan beberapa butir syarat di
atas, akan diperoleh kader yang dengan modal keringat sendiri akan peka
terhadap nafas kehidupan nyata di masyarakat. Minimal akan tahu sedikit banyak
ruang gerak dan bidang garap yang akan ditangani partainya.
Praktik yang terjadi, ada beberapa
modus yang ada untuk meraih status kader. Bahkan, lepas dari fakta bahwa tidak
hanya untuk menjadi kader, bahkan untuk menjadi ketua umum sebuah partai
politik. Asal kuat modal, atau ada bantuan dari pemodal, bisa mendirikan sebentuk
partai politik sesuai peraturan perundang-undangan.
Kilas balik perjuangan, rekam jejak
eksistensi partai politik yang pernah ada dan masih ada di NKRI. Khususnya pada
sistem rekuitmen anggota dan pola pengkaderan.
Singkat kata, sejalan dengan
tuntutan reformasi, maka budaya jalan pintas menjadi pedoman bagi anggota
partai. Orang tidak perlu susah payah merintis dari bawah. Tidak usah peras keringat,
buang waktu mengawali langkah catur
politik mulai dari angka nol, start sejak titik nol.
Terbukti, banyak yang masuk menjadi
nominator calon wakil rakyat tingkat kabupaten, tingkat provinsi maupun tingkat
nasional dan/atau jadi kandidat utama bakal calon kepala daerah.
Faktor eksternal atau efek domino
Indonesia sebagai negara multipartai, menjadikan semua partai mempunyai banyak
pesaing untuk merebutkan kursi yang sama. Akhirnya, mau tak mau, kendati ada
koalisi parpol, sejatinya telah terjadi persaingan bebas.
Persaingan bebas menjadikan partai
mengirimkan “kader terbaik” yang notabene mempunyai nilai jual komersial, bisa
menguntungkan perusahaan. Kalkulasi biaya politik yang akan dikeluarkan, sesuai
pertimbangan bahwa kadar dan daya serap, daya resap kader layak ditandingkan. Tidak
sekedar asal pasang nomor jadi, asal tebak nomor atau sekedar untung-untungan.
Secara internal kebijakan partai
sebagai harga mati. Bahkan partai yang ketua umumnya mempunyai hak prerogatif,
dipastikan kader harus pandai-pandai cari muka. Jika sang kader sudah menduduki
kursi penyelenggara negara – baik di legislatif, eksekutif maupun yudikatif –
harus menyesuaikan diri dengan fakta politik transaksional. Tidak ada makan
siang gratis. Biaya politik yang dikeluarkan, baik secara pribadi maupun
khususnya oleh mesin partai, tentu ada konsekuensi logisnya. Tidak sekedar
balik modal dalam satu periode.
Jangan heran, jika ada oknum kader
partai yang terjebak pada pasal jual beli kursi, sangat dimungkinkan akan
bermain aman, cari aman dalam memainkan angka-angka kalkulasi politik. Selain harus pandai-pandai “sudah menimang
sebelum meminang”, juga harus mampu memprediksi untuk maju ke periode
berikutnya. Tidak tanggung-tanggung untiuk “mandi uang”, sekalian basah kuyup. Menceburkan
diri seutuhnya. Jangan kepalang tanggung.
Terlebih, bahasa politik dan kamus
politik yang dominan dalam tata gaul berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar