Réferéndum Pemindahan Ibukota Negara
Adalah berita “Jokowi Sebut Tiga Provinsi” (Republika, Jumat 14 Juli 2017, halaman 2 ‘Nasional’).
Cuplikan alenia pertama :
JAKARTA. Presiden Joko Widodo (Jokowi)
menyebut ada tiga provinsi yang sedang dikaji sebagai calon ibu kota baru. Namun,
Jokowi enggan membeberkan provinsi mana saja yang sedang dikaji itu. Hal ini
untuk mengantisipasi harga tanah yang dapat melambung tinggi akibat aksi para
spekulan.
Terlihat ego pemerintah sekaligus
menampilkan kejanggalan yang aneh berkadar fatal.
Pertama. Jika pemindahan ibukota negara adalah hasil dari
kajian, tentunya memerlukan waktu yang cukup. Bukan sekedar produk dadakan
pemerintah yang sedang berjalan yang memicu dan memacu sentimen negatif rakyat.
Membentuk opini atas kebijakan yang sesaat dan sesat.
Kedua. Menyangkut kepentingan bangsa dan negara, akan
melibatkan berbagai pihak yang berkompeten. Termasuk lewat sayembara untuk
umum. Dengan hasil antara lain alternatif calon lokasi. Bukan sekedar niat
politik presiden yang malah jadi konsumsi spekulan tanah.
Ketiga. Mengingat pemindahan ibukota negara bukan untuk mengakomodir
kebutuhan dan/atau kepentingan pemerinrah dengan kontrak politik 5 (lima) tahun,
dan juga bukan bahan baku kampanye hadapi pesta demokrasi 2019. Bisa jadi
bumerang dan senjata makan tuan.
Jadi, dapat disimpulkan secara
sederhana bahwa memindahkan ibukota negara ibarat membangun Indonesia jilid
dua. Kita dapat mengacu pada satu kasus di periode 2009-2014, pemerintah membangunan Pusat Pendidikan
Pelatihan dan Stadion Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang, Bogor, Jawa Barat.
Sebagai PR (Pekerjaan Rumah) besar bangsa,
negara dan rakyat. Lebih layak diadakan réferéndum untuk membuktikan bahwa
rakyat berhak atas negara ini. Negara bukan hak milik kelompok maupun partai politik.
Bukan pekerjaan ringan dan tidak akan selesai dalam satu periode pemerintahan.[HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar