ngorèti sisa periode 2014-2019 lan njagakè endhogé si blorok
Di
bawah komado pemimpin besar revolusi mental, di bawah kendali kuasa usaha cakar
naga merah negara paling bersahabat, di bawah komunikasi konsultan jenderal dan
mantan jenderal dalam negeri, maka apapun yang akan terjadi, asal
konstitusional. Demi negara, atas nama kebijakan pemerintah, modus apapun
dengan berbasis pasal manapun menjadi tetap konstitusional. Tidak bisa
dipidanakan.
Ironis binti miris, jika ada politikus muda, politisi pendatang, mendadak
gagal paham, tiba-tiba putus masa depan justru sedang berada di sumber daya
ideologi yang berlimpah-ruah. Karena tidak sabar dengan uji kenikmatan dunia.
Maunya lebih dari itu.
Jujur saja, selama periode 2014-2019, gonjang-ganjing
politik dalam negeri didominasi lelucon politik. Menghadapi kemelut lokal,
presiden terkadang malah urun komentar. Wakil presiden yang ahli celetuk,
kesaing. Lebih heboh lagi. Media daring memang ciri khasnya memproduksi berita
garing. Maunya menjilat tetapi sejatinya menghujat.
Masih ingat sinyelemen utawa ngudal piwulang ki dalang Sobopawon, di
era mégatéga, mégakasus, mégabencana 2014-2019 negara yang serba multi, penduduk Indonesia akan
melihat ulah laku, tingkah laku, perilaku penyelenggara negara dari dan atau
sebagai pelaku, pekerja, pegiat, penggila, petugas partai, masuk ketegori samimawon. masuk kategori tiwas édan tenan tetep ora keduman.
Dosa
politik itu urusan Allah swt. Tentu, pemerintah atau penguasa tidak akan mampu
memuaskan semua rakyat. Jangankan rakyat, memuaskan hati pihak yang berjasa
pada terpilihnya sang presiden dan wakil presiden, masih tambal sulam. Sampai-sampai
barisan presiden berani ambil “jatah”-nya secara terang-terangan. Berani malu.
Bahkan
ada oknum yang berani ambil melebihi “jatah”-nya. Terbiasa di sistem lalu
lintas atau medan laga, jangan kedahuluan oleh pihak lawan. Sekecil apapun
potensi lawan, basmi di tempat. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar