mengenal jarak kabur koalisi, konspirasi dan
konflik politik Nusantara
Mengacu kamus dan bahasa politik, ternyata antara
koalisi, konspirasi dan sejenisnya sampai konlik adalah sami mawon. Dipertegas
sebagai paket politik. Dari aspek historis, kemasan paket dengan berbagai versi
mempengaruhi biaya politik dalam negeri.
Secara formal kebangsaan, resmi kenegaraan, légitimitas
kerakyatan kita tidak tahu secara terukur, baku, standar sekarang ini apa dan/atau siapa
musuh utama NKRI.
Di era Orde Baru, didengungkan lewat bahasa
pembangunan dengan format Pembanunan Lima Tahun (pelita) bahwa kemiskinan,
kebodohan, keterbelakangan menjadi musuh bersama bangsa, negera, pemerintah dan
rakyat Indonesia.
Pasca reformasi yang bergulir dari puncaknya, sampai
ambang bawah periode 2014-2019, sepertinya sistem pemerintah kita adalah sistem
berlapis, berjenjang. Bahasa gaulnya menjadi negara multipilot.
Media massa dengan berbagai versi, jika tidak menyebut
nama Joko Widodo atau beken dengan sebutan Jokowi saat menayangkan oknum
penyelenggara negara yang gemar tebar pesona sampai tebar ujar kemunafikan,
tentu tak tahu mana dan siapa yang jadi presiden.
Di era Reformasi ini banyak kutub, kubu, kekuatan, kendali
sampai konspirasi yang bermain di Indonesia. Gerakan sparatis di era Orba,
ternyata didominasi dalang dan pemodal asing. Gerakan teror di era multipartai dengan
mudah, gamblang, terukur bisa terdeteksi sejak dini, namun kalah tanding, kalah
canggih, kalah skenario saat mengendus modus operandi efek domino penistaan
agama lain oleh oknum penyelenggara nrgara.
Potensi lokasi, posisi, sumber daya alam, sumber daya
manusia, perputaran uang, dinamika politik menjadikan kabupaten/kota sebagai
perekat Nusantara sekaligus sebagai titik retak persatuan dan kesatuan
nasional. Imbas, dampak, ekses, efek domino politik transaksional pesta
demokrasi 2014, menjadikan kabupaten/kota menjadi titik rawan, rentan, riskan
berbagai intervensi, menjadi obyek konspirasi papan bawah sampai skala dunia.
Indonesia sebagai negara pulau dan kepulauan, masuk
skenario asing (termasuk negara yang berbatasan langsung dengan RI) yang
berharap banyak presiden. Salah kaprah semangat otonomi daerah, dalam tataran
dan tatanan tertentu, memancing syahwat politik untuk mendirikan otonomi
negara. Jangan dibilang, dualisme dalam kepengurusan parpol, penguasa tunggal
turun temurun dalam parpol, politik sebagai panglima sebagai cikal bakal
otonomi negara. Terbukti, orang tidak sabar antri dalam barisan, menyempal
membuat barisan sendiri.
Rahasia umum perusahaan politik
keluarga, jika anak bangsa atau putera daerah berangan-angan, berambisi meraih
jabatan tertentu, tentu akan berusaha sekuat tenaga sendiri mewujudkannya
dengan modus apa pun. Seolah ada dua pilihan ekstrem modusnya. Semangkin tinggi
jabatan yang diperebutkan, dijual bebas, semakin besar pula biaya politiknya.
Bahasa dan kamus politik Nusantara,
masih dengan pasal utama bahwa Politik digunakan untuk memuluskan jalan menuju
kekuasaan. Merebut kursi kekuasaan, mempertahankan takhta kekuasaan dan/atau
merebut kembali singgasana kekuasaan dengan cara konstutusional, legal dan
sesuai pasal hukum dunia.
Pola hidup, gaya hidup dan modus politik kawan
penggila partai sebelum dan setelah sumpah dan jajnji jabatan, ditentukan ketakutan
terhadap modus lawan politik.
Sesama serigala politik dilarang
saling menjagal dan menjagal di padang buruan yang sama. Hanya sekedar
semboyang politik yang kalah pamor dengan ramuan ajaib revolusi mental.
Saling incar antara koalisi
pro-pemerintah sekali dengan koalisi pro-pemerintah seadanya. Ihkwal ini
menyuburkan kerjasama yang saling menguntungkan kemudian dikenal sebagai
konspirasi politik. Nyatanya, malah ada pihak ketiga yang mendulang emas di air
keruh. Memanfaatkan konflik antara dua kubu yang berseberangan.
Konspirasi politik tidak berkembang
di negara berkembang. Survei tanpa survei membuktikan asal muasal, cikal bakal
konspirasi politik digagas dan dilahirkan oleh negara supermaju. Praktik konspirasi politik di
negeri asalnya, tentu dengan tingkat kerumitan, kesulitan yang cukup atau tidak
cukup dengan mengorbankan negara untuk kepentingan sesaat dan kebutuhan sesat.
Bedanya, kalau konspirasi politik
terjadi di negara sedang berkembang, maka yang menjadi korban adalah negara itu
sendiri. Tidak berdampak pada negara terdekat, negara tetangga satu daratan
atau oleh negara lain.
Terlebih jika konspirasi politik
lokal akibat dari campur tangan investor politik dari negara terbanyak
populasinya. Maka efek domino melebihi life time dampak boma atom
Hiroshima dan Nagasaki 1945.
Jangan disimpulkan bahwasanya makna
konspirasi politik adalah sebuah rencana rahasia dan kesepakatan rahasia yang dijalankan
oleh sekelompok orang dengan pihak lawan, untuk menggoalkan angan-angan, ambisi
politik. Pasal kerjasamanya tentu sebagai sesuatu yang “buka konsumsi rakyat”
dalam hal jual beli kursi kekuasaan.
Akumulasi dosa politik Orde Lama dengan
Orde Baru, plus bonus reformasi, seolah terlupakan oleh sejarah. Semangkin mengkaburkan
musuh utama negara maupun musuh utama rakyat. Fakta ini membuat rakyat
Nusantara seolah tidak lagi membutukan kepala negara yang bercitra ala hantam
kromo-nya bung Karno atau bergaya pesona senyum sang jenderal dengan “kalau
tidak bisa dirangkul, pakai cara diengkul”. Masih ingat, jika semula vocal,
setelah disekolahkan menjadi jinak-jinak serigala politik. Bisa menjadi alat
penjinak lawan politik.
Mungkin untuk mendongkrak pamor
presiden yang belum jatuh tempo dengan modus “gebuk duluan, rembuk belakangan”.
Motif konspirasi politik yang terjadi
di periode 2014-2019, semakin menjadi senjata makan tuan, menjadi bumerang. Niat menarik
suara rakyat meluas bak argo kuda menjadi motif politik kombinasi balas jasa,
balas budi vs politik balas dendam. Mégakasus konspirasi yang mereka lakukan
adalah kasus yang memiliki status hukum yang “abu-abu” utawa “kabur” demi
kepentingan penguasa khususnya pengusaha politik. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar