Halaman

Rabu, 12 Juli 2017

mengenal jarak kabur koalisi, konspirasi dan konflik politik Nusantara



mengenal jarak kabur koalisi, konspirasi dan konflik politik Nusantara

Mengacu kamus dan bahasa politik, ternyata antara koalisi, konspirasi dan sejenisnya sampai konlik adalah sami mawon. Dipertegas sebagai paket politik. Dari aspek historis, kemasan paket dengan berbagai versi mempengaruhi biaya politik dalam negeri.

Secara formal kebangsaan, resmi kenegaraan, légitimitas kerakyatan kita tidak tahu secara terukur,  baku, standar sekarang ini apa dan/atau siapa musuh utama NKRI.

Di era Orde Baru, didengungkan lewat bahasa pembangunan dengan format Pembanunan Lima Tahun (pelita) bahwa kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan menjadi musuh bersama bangsa, negera, pemerintah dan rakyat Indonesia.

Pasca reformasi yang bergulir dari puncaknya, sampai ambang bawah periode 2014-2019, sepertinya sistem pemerintah kita adalah sistem berlapis, berjenjang. Bahasa gaulnya menjadi negara multipilot.

Media massa dengan berbagai versi, jika tidak menyebut nama Joko Widodo atau beken dengan sebutan Jokowi saat menayangkan oknum penyelenggara negara yang gemar tebar pesona sampai tebar ujar kemunafikan, tentu tak tahu mana dan siapa yang jadi presiden.

Di era Reformasi ini banyak kutub, kubu, kekuatan, kendali sampai konspirasi yang bermain di Indonesia. Gerakan sparatis di era Orba, ternyata didominasi dalang dan pemodal asing. Gerakan teror di era multipartai dengan mudah, gamblang, terukur bisa terdeteksi sejak dini, namun kalah tanding, kalah canggih, kalah skenario saat mengendus modus operandi efek domino penistaan agama lain oleh oknum penyelenggara nrgara.

Potensi lokasi, posisi, sumber daya alam, sumber daya manusia, perputaran uang, dinamika politik menjadikan kabupaten/kota sebagai perekat Nusantara sekaligus sebagai titik retak persatuan dan kesatuan nasional. Imbas, dampak, ekses, efek domino politik transaksional pesta demokrasi 2014, menjadikan kabupaten/kota menjadi titik rawan, rentan, riskan berbagai intervensi, menjadi obyek konspirasi papan bawah sampai skala dunia.

Indonesia sebagai negara pulau dan kepulauan, masuk skenario asing (termasuk negara yang berbatasan langsung dengan RI) yang berharap banyak presiden. Salah kaprah semangat otonomi daerah, dalam tataran dan tatanan tertentu, memancing syahwat politik untuk mendirikan otonomi negara. Jangan dibilang, dualisme dalam kepengurusan parpol, penguasa tunggal turun temurun dalam parpol, politik sebagai panglima sebagai cikal bakal otonomi negara. Terbukti, orang tidak sabar antri dalam barisan, menyempal membuat barisan sendiri.

Rahasia umum perusahaan politik keluarga, jika anak bangsa atau putera daerah berangan-angan, berambisi meraih jabatan tertentu, tentu akan berusaha sekuat tenaga sendiri mewujudkannya dengan modus apa pun. Seolah ada dua pilihan ekstrem modusnya. Semangkin tinggi jabatan yang diperebutkan, dijual bebas, semakin besar pula biaya politiknya.

Bahasa dan kamus politik Nusantara, masih dengan pasal utama bahwa Politik digunakan untuk memuluskan jalan menuju kekuasaan. Merebut kursi kekuasaan, mempertahankan takhta kekuasaan dan/atau merebut kembali singgasana kekuasaan dengan cara konstutusional, legal dan sesuai pasal hukum dunia.

 Pola hidup, gaya hidup dan modus politik kawan penggila partai sebelum dan setelah sumpah dan jajnji jabatan, ditentukan ketakutan terhadap modus lawan politik.

Sesama serigala politik dilarang saling menjagal dan menjagal di padang buruan yang sama. Hanya sekedar semboyang politik yang kalah pamor dengan ramuan ajaib revolusi mental.

Saling incar antara koalisi pro-pemerintah sekali dengan koalisi pro-pemerintah seadanya. Ihkwal ini menyuburkan kerjasama yang saling menguntungkan kemudian dikenal sebagai konspirasi politik. Nyatanya, malah ada pihak ketiga yang mendulang emas di air keruh. Memanfaatkan konflik antara dua kubu yang berseberangan.

Konspirasi politik tidak berkembang di negara berkembang. Survei tanpa survei  membuktikan asal muasal, cikal bakal konspirasi politik digagas dan dilahirkan oleh negara supermaju. Praktik konspirasi politik di negeri asalnya, tentu dengan tingkat kerumitan, kesulitan yang cukup atau tidak cukup dengan mengorbankan negara untuk kepentingan sesaat dan kebutuhan sesat.

Bedanya, kalau konspirasi politik terjadi di negara sedang berkembang, maka yang menjadi korban adalah negara itu sendiri. Tidak berdampak pada negara terdekat, negara tetangga satu daratan atau oleh negara lain.

Terlebih jika konspirasi politik lokal akibat dari campur tangan investor politik dari negara terbanyak populasinya. Maka efek domino melebihi life time dampak boma atom Hiroshima dan Nagasaki 1945.

Jangan disimpulkan bahwasanya makna konspirasi politik adalah sebuah rencana rahasia dan kesepakatan rahasia yang dijalankan oleh sekelompok orang dengan pihak lawan, untuk menggoalkan angan-angan, ambisi politik. Pasal kerjasamanya tentu sebagai sesuatu yang “buka konsumsi rakyat” dalam hal jual beli kursi kekuasaan.

Akumulasi dosa politik Orde Lama dengan Orde Baru, plus bonus reformasi, seolah terlupakan oleh sejarah. Semangkin mengkaburkan musuh utama negara maupun musuh utama rakyat. Fakta ini membuat rakyat Nusantara seolah tidak lagi membutukan kepala negara yang bercitra ala hantam kromo-nya bung Karno atau bergaya pesona senyum sang jenderal dengan “kalau tidak bisa dirangkul, pakai cara diengkul”. Masih ingat, jika semula vocal, setelah disekolahkan menjadi jinak-jinak serigala politik. Bisa menjadi alat penjinak lawan politik.

Mungkin untuk mendongkrak pamor presiden yang belum jatuh tempo dengan modus “gebuk duluan, rembuk belakangan”.

Motif konspirasi politik yang terjadi di periode 2014-2019,  semakin menjadi senjata  makan tuan, menjadi bumerang. Niat menarik suara rakyat  meluas bak argo kuda  menjadi motif politik kombinasi balas jasa, balas budi vs politik balas dendam. Mégakasus konspirasi yang mereka lakukan adalah kasus yang memiliki status hukum yang “abu-abu” utawa “kabur” demi kepentingan penguasa khususnya pengusaha politik. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar