efek domino dana parpol, parpol produktif vs parpol
konsumtif
Pemilu tanggal 9 Juni 1999 diikuti
48 partai politik dari 141 parpol yang ada dan terdaftar di Departemen Kehakiman
dan HAM. Persoalan yang dihadapi Indonesia pasca 21 Mei 1998 atau sisa waktu
periode 1997-2002 bukan hanya krisis politik, tetapi yang lebih parah adalah
krisis ekonomi, sosial dan penegakan hukum serta tekanan internasional.
Lepas akhirnya berapa parpol yang
mendapat kursi di DPR. Ada asumsi politik jika ketua umum parpol juara umum
pemilu, otomatis jadi presiden. Padahal selama pemilu di zaman Orde Baru,
presiden bukan petugas partai apalagi ketua umum.
Pada pemilu 2014, dengan pemilihan
umum legislatif dan pemilihan presiden, Indonesia sedang demam krisis partai
politik. Dalam pengertian parpol juara umum pemilihan legislatif April 2014,
tidak mempunyai stok kader yang pantas maju atau diajukan ikut pilpres.
Dua periode berturut-turut SBY di
2004-2009 dan 2009-2014 bukannya tanpa efek, dampak, ekses politik. Tekanan asing
sudah bergeser atau meningkat yang efeknya dirasakan sampai sekarang. Bukti NKRI
sebagai negara ranah investor politik.
Minimal ada pihak yang menilai
prestasi satu tahun atau tahun pertama Jokowi plus/minus JK sama atau melebih
prestasi 2 periode SBY. Artinya, cukup satu tahun saja. “Prestasi” ini tentu di
luar fakta Utang Luar Negeri (ULN), yang susah dimengerti oleh pihak relawan
pencatat.
Terbukti, selain ULN yang menjadi
beban negara – bukan beban rakyat – diperberat dengan kerugian uang negara
akibat dikorup, dibegal di awal, di tengah, di akhir jalan.
Karakter éra mégatéga serba multi,
efek domino negara multipartai dengan ramuan ajaib revolusi mental, dana parpol
membuktikan parpol hanya sebagai parpol konsumtif. Sebagai matapencaharian.
Apapun parpolnya, jika sudah naik
pentas, panggung politik maka hukum politik yang berlaku dan dominan. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar