Halaman

Selasa, 11 Juli 2017

efek domino dana parpol, parpol produktif vs parpol konsumtif



efek domino dana parpol, parpol produktif vs parpol konsumtif

Pemilu tanggal 9 Juni 1999 diikuti 48 partai politik dari 141 parpol yang ada dan terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM. Persoalan yang dihadapi Indonesia pasca 21 Mei 1998 atau sisa waktu periode 1997-2002 bukan hanya krisis politik, tetapi yang lebih parah adalah krisis ekonomi, sosial dan penegakan hukum serta tekanan internasional.

Lepas akhirnya berapa parpol yang mendapat kursi di DPR. Ada asumsi politik jika ketua umum parpol juara umum pemilu, otomatis jadi presiden. Padahal selama pemilu di zaman Orde Baru, presiden bukan petugas partai apalagi ketua umum.

Pada pemilu 2014, dengan pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden, Indonesia sedang demam krisis partai politik. Dalam pengertian parpol juara umum pemilihan legislatif April 2014, tidak mempunyai stok kader yang pantas maju atau diajukan ikut pilpres.

Dua periode berturut-turut SBY di 2004-2009 dan 2009-2014 bukannya tanpa efek, dampak, ekses politik. Tekanan asing sudah bergeser atau meningkat yang efeknya dirasakan sampai sekarang. Bukti NKRI sebagai negara ranah investor politik.

Minimal ada pihak yang menilai prestasi satu tahun atau tahun pertama Jokowi plus/minus JK sama atau melebih prestasi 2 periode SBY. Artinya, cukup satu tahun saja. “Prestasi” ini tentu di luar fakta Utang Luar Negeri (ULN), yang susah dimengerti oleh pihak relawan pencatat.

Terbukti, selain ULN yang menjadi beban negara – bukan beban rakyat – diperberat dengan kerugian uang negara akibat dikorup, dibegal di awal, di tengah, di akhir jalan.

Karakter éra mégatéga serba multi, efek domino negara multipartai dengan ramuan ajaib revolusi mental, dana parpol membuktikan parpol hanya sebagai parpol konsumtif. Sebagai matapencaharian.

Apapun parpolnya, jika sudah naik pentas, panggung politik maka hukum politik yang berlaku dan dominan. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar