Indonesia bergaya kaya, berlagak kuasa, pamer otot
kuat
Cita-cita anak bangsa, putera asli
daerah untuk sekolah adalah cukup sederhana. Kalau sudah besar kelak bisa ikut
reuni, mempunyai atau mendirikan organisasi kemasyarakatan berbasis alumni.
Minimal numpang beken, kalau ada
teman sekolah apalagi teman seangkatan, seklas, bisa menjadi orang. Dan tetap
bangga jika ada pejabat publik, yang satu sekolah, walau terjerat OTT KPK. Kawan
lama, selamanya kawan, begitu moto alumnus.
Bagi mahasiswa yang tidak sempat
meraih gelar akademis, masih tetap sebagai alumni angkatan. Inilah seninya
hidup di perguruan tinggi.
Kenangan lama, nostalgia, napak
tilas seolah mendominasi daya ingat, memadati sejarah, memori masa lampau,
rekam jejak para pensiunan, terlebih yang sudah punya buyut atau yang sudah buyeten.
Mungkin malah terjadi yang tidak
punya cita-cita yang muluk-muluk, ambisi selangit malah tahu-tahu bisa jadi
orang. Atau di sekolah, di kampus masuk yang tak terkenal, popular. Bukan aktitivis
atau tukang unjuk rasa, unjuk raga utawa tukang demo. Bukan pegiat non-ekstra kurikuler. Buak anak
gaul, nyaris culun. Kutu buku juga bukan, apalagi anak berprestasi.
Di Indonesia seolah ada jalan
pintas, jalan pendek potong kompas untuk menjadi orang. Bukan karena ada ijazah
‘aspal’. Bukan karena ijazah bisa ‘dihargai’ atau ada harga obralnya. Sejalan dengan
pendidikan formal ada sistem Paket.
Orang pun tak perlu merintis “dari
angka nol yang pak/bu” untuk memenuhi masa depannya. Memakai batu loncatan. Bahasa
kunonya adalah dengan cara menang merek atau merek menang. Bentuk lainnya
adalah aji mumpung vs mumpung aji. Banyak praktik yang susah dilacak siapa
pencetusnya. Tak layak diungkap karena menyangkut martabat, kehormatan, harga
diri ybs. Malah bisa dianggap tebar fitnah.
Jalan pintas untuk meraih predikat
juara, pasti juaranya juga hanya sepintas. Kalau PSSI ternyata selama ini mampu
bertahan menjadi juara nasional, itu lain pasal, walau kasus sama. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar