Halaman

Jumat, 30 Juni 2017

antara Sumpah Palapa dan pancasilais bintang lima



antara Sumpah Palapa dan pancasilais bintang lima

Sudah menjadi pasal hukum rimba, siapa yang semakin berkuasa, akan semakin melupakan asal-muasalnya. Semakin naik tingkat, naik peringkat, angin menerpa semakin kencang. Semakin ke puncak, semakin jauh dari rakyat.

Sumpah amukti palapa mahapatih Gadjah Mada, atau ke bekel bhayangkara Gadjah Mada, sepertinya sudah memprediksi gelagat bahwa pihak yang berkuasalah yang justru akan memecah belah persatuan. Motivasinya atau latar belakangnya tak sengaja. Seperti tuntutan jabatan. Namanya di rimba belantara.

Jalmo moro jalmo mati, menjadi pasal pengaman teritorial habitatnya. Apalagi jika merasa kekuasaan di tangan hanya seumur jagung. Tidak sampai satu periode atau lima tahun. Atau enam tahun bagi jabatan kepala desa.

Masa jabatan formal seperti vonis hukuman yang dijatuhkan atau diputuskan hakim. Kendati jabatan publik, jabatan penyelenggara negara dipatok lima tahun, sesuai antar waktu pesta demokrasi lima tahunan. Memang pejabat yang dipilih oleh rakyat sepertinya tenang-tenang saja. Kontrak politik lima tahunan berharap skenarionya lancar dan aman-aman saja.

Rakyat yang menjadi asal-muasal, cikal bakal bahan baku sila-sila di Pancasila bak hanya jadi penonton, atau mirip paribasan gajah perang karo gajah, kancil mati ing tengah.

Rakyat berkeringat tiap saat agar kendilnya tidak miring. Beda dengan pejabat atau penguasa yang matian-matian peras keringat, putar otak, olah akal, melakoni apa saja, asal kursinya jangan njomplang.

Rakyat ikhlas dengan yang dilakoninya, dijalaninya, tidak mimpi besok bisa makan atau tidak. Penguasa sibuk dengan alam mimpinya, besok siapa saja – bukan apa saja – yang akan “dimakan”. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar