pemerataan
pembangunan vs pembangunan yang memeratakan
Entah
kenapa dan mengapa di periode 2014-2019 terwujud aneka peristiwa dan kejadian yang
sulit ditarik benang merahnya. Sepertinya menurut akal sehat rakyat, ada pihak
yang dengan akal bulus, nafsu serigala, modus buaya bergerak dan mengambil
keuntungan di dua kutub yang berseberangan.
Negara
ibarat akumulasi keluarga besar se Nusantara, tak heran pihak yang merasa tua
dan sarat rekam jejak, merasa banyak jasa pengabadian dan imbalan logis sebagai
penjuraganan, merasa berhak berdiri paling depan menjadi komandan dapur dan
seabrek kepentingan terselubung, merasa kalau bukan dia siapa lagi.
Negara
bagaikan perusahaan besar, sehingga yang merasa mempunyai saham paling banyak,
paling besar merasa berhak nangkring dan nongkrong di kursi pucuk pimpinan. Minimal
ada pihak yang merasa kalau tidak nenek moyangnya mendirikan bangsa ini, mana
mungkin NKRI ada. Jadi, kalau kakinya masuk ke arus kas perusahaan maka
diharapkan itu semua adalah hak milik. Mengalir ke kantung keluarga besar,
memadati pundi-pundi yang kata filosofi kehidupan masyarakat Jawa-Udik adalah
bak kantong bolong. Bisa menerima apa saja dan numpang liwat.
Jadi
kawan, yang namanya relawan, loyalis, bolo dupak, ahli hisap, atau
sebutan heroik lainnya ternyata hanya sudah senang dan diam kalau sudah diberi “mainan”.
Asal tangan pegang uang, menggenggam makanan, yang siap menadah sudah diam. Merasa
telah dapat banyak. Padahal mereka hanya sebagai perebut sisa-sisa pembangunan
nasional maupun pembangunan daerah.
Kisah
sukses Jokowi plus minus JK, terlacak jika ada kelompok masyarakat – malah sebetulnya
oknum masyarakat – yang kemampuan ekonominya jauh di atas rata-rata nasional. Bahasa
jelasnya, pelaku ekonomi yang secara de facto sebagai penentu nasib
bangsa dan negara. Pesta demokrasi diwujudkan sesuai skenario mereka. Jalannya revolusi
mental di bawah bendera revolusi abang-abang bendera . . . . . [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar