Halaman

Jumat, 09 Juni 2017

tergantung bagaimana caranya



tergantung bagaimana caranya

Kendati ada strata sosial, klas ekonomi, kasta politik khususnya pada jenjang pedidikan, ternyata dala kehidupan nyata terdapat titik temu. Di dimensi , kuadran atau kondisi ini, tidak kentara mana yang cerdas dengan yang tidak. Pokoknya seperti ada nuansa semua makhluk sama saja.

Apakah itu bisa juga berupa bencana alam. Saat kejadian yang menimpa satu kawasan, tak pelak para korban akan bereaksi yang sama. Bedanya pada bagaimana untuk langkah selanjutnya. Terkadang masih saja tidak ada perbedaan yang mendasar. Faktor kepanikan menjadikan orang kehilangan nalar, akal sehat dan budi pekertinya. Jangan dibayangkan pada saat pilkada, pemilu legislative bahkan di tingkat peilpres, tidak hanya kandidat, bakal calon atau petahana yang panik.

Tak sengaja penulis menemukan ‘faktor panik’ sebagai salah satu, atau malah yang utama sebagai kondisi dimana atau sehingga antar mansuia tidak ada beda dengan kekontradiksiannya. Antara yang kaya dengan yang miskin, dsb.

Padahal cita-cita politik penulis ingin mengatakan bahwa pada bagaimana cara yang dilakukan seseorang – yang seharusnya identik dengan strata sosial, klas ekonomi, kasta politik khususnya pada jenjang pedidikan – yang jika dirunutkan mulai pola pikir, ragam cuap plus ucap dan olah tindak, tingkah laku.

Ternyata jika pelakunya memang ahlinya, tidak ada kaitannya dengan peringkat atau derajat ke-manusia-annya. Contoh nyata yang popular, artinya sudah rahasia umum yaitu pada profesi petani. Apa bedanya denga sarjana pertanian atau yang malah sudah bergelas guru besar. Yang disebut belakangan ini jika harus bekerja sebagai petani, apa kata dunia. Semua macam dan/atau jenis pekerjaan sudah ada pembagian kerja dan spesialisasinya.

Jadi, pekerjaan atau profesi yang turun temurun lebih mengandalakn faktor panutan, faktor ajar dan mau terjun praktik sedini mungkin. Praktik langsung di bawah bimbingan, guru, pengawasan yang juga orang tuanya.

Tak salah jika ada yang mengaku sebagai anak ideologis, malah bisa sampai anak cucu ideologis. Umunya tapi tidak umum yaitu dalam suatu keluarga terjadi tradisi keilmuan. Terjadi di masyarakat kebanyakan atau kebanyakan masyarakat, yaitu jika orangtuanya, khsususnya suami atai sang ayah dengan modal ijazah SMA atau sederajat mampu hidup. Maka jika punya anak, cita-cita sederhana. Anaknya lulus SMA sudah dianggap cukup modal untuk hidup. Selanjutnya diserahkan kepada kebijakan alam.

Jangan lupa kawan, dalam suatu keluarga bisa terjadi penyimpangan tradisi keprofesian. Penyimpangan bisa sampai derajat kontradiksi. Artinya sang anak lebih memilij dan mimilah jalur yang beda dengan lajur orangtuanya. Namanya dinamika kehidupan dalam sebuah keluarga.

Peribahasa “buah jatuh menggelinding tak jauh dari pohonnya”, masih segar artinya masih bisa diberlakukan sampai sekarang. Namanya manusia, ada yang merasa kalau kejayaan orangtuanya bisa diwariskan ke anak cucu. Tinggal terima jadi dan melanjutkan, tanpa perlu keluar keringat. Tinggal terima kunci. Semacam dinasti politik. Mungkin. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar