tergantung
bagaimana caranya
Kendati ada strata sosial, klas
ekonomi, kasta politik khususnya pada jenjang pedidikan, ternyata dala
kehidupan nyata terdapat titik temu. Di dimensi , kuadran atau kondisi ini,
tidak kentara mana yang cerdas dengan yang tidak. Pokoknya seperti ada nuansa
semua makhluk sama saja.
Apakah itu bisa juga berupa
bencana alam. Saat kejadian yang menimpa satu kawasan, tak pelak para korban
akan bereaksi yang sama. Bedanya pada bagaimana untuk langkah selanjutnya. Terkadang
masih saja tidak ada perbedaan yang mendasar. Faktor kepanikan menjadikan orang
kehilangan nalar, akal sehat dan budi pekertinya. Jangan dibayangkan pada saat
pilkada, pemilu legislative bahkan di tingkat peilpres, tidak hanya kandidat,
bakal calon atau petahana yang panik.
Tak sengaja penulis menemukan ‘faktor
panik’ sebagai salah satu, atau malah yang utama sebagai kondisi dimana atau sehingga
antar mansuia tidak ada beda dengan kekontradiksiannya. Antara yang kaya dengan
yang miskin, dsb.
Padahal cita-cita politik penulis
ingin mengatakan bahwa pada bagaimana cara yang dilakukan seseorang – yang seharusnya
identik dengan strata sosial, klas ekonomi, kasta politik khususnya pada
jenjang pedidikan – yang jika dirunutkan mulai pola pikir, ragam cuap plus ucap
dan olah tindak, tingkah laku.
Ternyata jika pelakunya memang
ahlinya, tidak ada kaitannya dengan peringkat atau derajat ke-manusia-annya. Contoh
nyata yang popular, artinya sudah rahasia umum yaitu pada profesi petani. Apa bedanya
denga sarjana pertanian atau yang malah sudah bergelas guru besar. Yang disebut
belakangan ini jika harus bekerja sebagai petani, apa kata dunia. Semua macam
dan/atau jenis pekerjaan sudah ada pembagian kerja dan spesialisasinya.
Jadi, pekerjaan atau profesi yang
turun temurun lebih mengandalakn faktor panutan, faktor ajar dan mau terjun
praktik sedini mungkin. Praktik langsung di bawah bimbingan, guru, pengawasan yang
juga orang tuanya.
Tak salah jika ada yang mengaku
sebagai anak ideologis, malah bisa sampai anak cucu ideologis. Umunya tapi
tidak umum yaitu dalam suatu keluarga terjadi tradisi keilmuan. Terjadi di
masyarakat kebanyakan atau kebanyakan masyarakat, yaitu jika orangtuanya,
khsususnya suami atai sang ayah dengan modal ijazah SMA atau sederajat mampu
hidup. Maka jika punya anak, cita-cita sederhana. Anaknya lulus SMA sudah
dianggap cukup modal untuk hidup. Selanjutnya diserahkan kepada kebijakan alam.
Jangan lupa kawan, dalam suatu
keluarga bisa terjadi penyimpangan tradisi keprofesian. Penyimpangan bisa
sampai derajat kontradiksi. Artinya sang anak lebih memilij dan mimilah jalur
yang beda dengan lajur orangtuanya. Namanya dinamika kehidupan dalam sebuah
keluarga.
Peribahasa “buah jatuh menggelinding tak jauh
dari pohonnya”, masih segar artinya masih bisa diberlakukan sampai sekarang. Namanya manusia,
ada yang merasa kalau kejayaan orangtuanya bisa diwariskan ke anak cucu. Tinggal
terima jadi dan melanjutkan, tanpa perlu keluar keringat. Tinggal terima kunci.
Semacam dinasti politik. Mungkin. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar