Halaman

Kamis, 01 Juni 2017

piyé mbokdé, isi nduwé Pancasila



piyé mbokdé, isi nduwé Pancasila

Di lingkungan tempat tinggal penulis, masih terdapat beberapa warga yang usianya lebih tua daripada usia historis Pancasila. Saat Pancasila didaulat mufakat bulat, mereka masih balita, sehingga kalau ditanya soal apa siapa Pancasila, hanya geleng kepala. Mungkin beda kota. Atau saat itu awak media tidak segetol sekarang. Dimana yang mana, kentut pun bisa jadi sumber berita dan perkara.

Mereka yang sudah makan bangku sekolah, ditanya soal bagaimana nasib Pancasila saat itu, hanya nyengir kuda. Kalau ada yang jawab, ada ingatan masih ada Belanda. Ikut orantua sebagai pengungsi. Ada yang ingat, sebelum Pancasila lahir, mereka tahu di langit ada pesawat tempur “saudara tua” terbang rendah. Semua langsung tiarap atau cari perlindungan. Diiringi suara bom njebluk. Rentetan tembakan dari udara.

Bagi generasi yang lahir ketika Pancasila sedang jaya-jayanya, lain pasal dan beda perkara.

Seiring kemajuan peradaban di lembah ideologi bangsa, Pancasila selalu menjadi bahan pertimbangan. Bukan sebagai kepastian atau ketentuan dalam melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegara.

NKRI sebagai negara hukum, sudah mengantisipasi akan adanya upaya untuk memberangus, mengkerdilkan nilai-nilai Pancasila. Sila pertama sejak awal menjadi perdebatan bahkan sampai sekarang.

Para pendiri bangsa sudah mensinyalir nantinya bahwa titik retak bangsa karena ulah anak bangsa yang menistakan agama lain. Bukan keluar dari celotehan rakyat jelata, tetapi meluncur bebas secara konstitusional dari mulut penyelenggara negara. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar