piyé mbokdé, isi nduwé Pancasila
Di lingkungan tempat tinggal penulis, masih terdapat beberapa warga yang
usianya lebih tua daripada usia historis Pancasila. Saat Pancasila didaulat
mufakat bulat, mereka masih balita, sehingga kalau ditanya soal apa siapa
Pancasila, hanya geleng kepala. Mungkin beda kota. Atau saat itu awak media
tidak segetol sekarang. Dimana yang mana, kentut pun bisa jadi sumber berita
dan perkara.
Mereka yang sudah makan bangku sekolah, ditanya soal bagaimana nasib
Pancasila saat itu, hanya nyengir kuda. Kalau ada yang jawab, ada ingatan masih
ada Belanda. Ikut orantua sebagai pengungsi. Ada yang ingat, sebelum Pancasila
lahir, mereka tahu di langit ada pesawat tempur “saudara tua” terbang rendah. Semua
langsung tiarap atau cari perlindungan. Diiringi suara bom njebluk. Rentetan tembakan dari udara.
Bagi generasi yang lahir ketika Pancasila sedang jaya-jayanya, lain pasal
dan beda perkara.
Seiring kemajuan peradaban di lembah ideologi bangsa, Pancasila selalu
menjadi bahan pertimbangan. Bukan sebagai kepastian atau ketentuan dalam melaksanakan
kehidupan berbangsa dan bernegara.
NKRI sebagai negara hukum, sudah mengantisipasi akan adanya upaya untuk
memberangus, mengkerdilkan nilai-nilai Pancasila. Sila pertama sejak awal
menjadi perdebatan bahkan sampai sekarang.
Para pendiri bangsa sudah mensinyalir nantinya bahwa titik retak bangsa
karena ulah anak bangsa yang menistakan agama lain. Bukan keluar dari celotehan
rakyat jelata, tetapi meluncur bebas secara konstitusional dari mulut
penyelenggara negara. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar