Halaman

Jumat, 02 Juni 2017

praktik liar Pancasila tergantung syahwat politik penguasa



praktik liar Pancasila tergantung syahwat politik penguasa

Apakah rakyat pengguna, pemanfaat, penerima manfaat garam dapur, cabai uleg bisa menentukan harga jualnya. Ada uang atau dengan uang yang ada beli sesuai kemampuan bukan mengikuti arus selera. Luasnya Nusantara dan sebaran populasi sampai pinggiran kota, pojok desa, tepi laut, puncak bukit, kaki langit, pulau kecil terpencil, perbatasan negara, menjadikan satu barang dengan berbagai harga.

Apalagi gerakan formal kebangsaan dengan kemasan skala negara, maka rakyat, masyarakat, penduduk, warga negara yang masuk kategori “tak diharapkan kelahirannya”, hanya diposisikan, diperankan sebagai penonton pasif.

Andaikata kepala negara berujar, berucap bahwasanya ada pihak yang ingin mengganti Pancasila dengan ideologi lain, akibat salah menu atau menu harian politiknya hanya itu. Seolah tak mau direcoki kebutuhan dan kepentingan rakyat. Maunya dan sudah terbiasa dicekoki menu politik impor, serba asing atau minimal mengutamakan produk luar yang mampu mendongkrak pamornya.

Aliran, paham atau isme-isme yang hanya pelaku, penganut, loyalis, anteknya yang tahu, tersedia di meja politik dalam negeri. Siap pakai sesuai kemampuan kantong, sponsor, donatur, bandar politik, investor politik manca negara.

Wajar kalau kulit tangan rakyat mengeras, kapalan. Terkadang terkelupas, melepuh, akibat modal tangan. Tak heran jika mulut sekelompok oknum penyelenggara negara ada yang menebal, mengeras, kapalan – yang mendukung tampilan muka badak. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar