praktik liar Pancasila tergantung syahwat politik
penguasa
Apakah rakyat pengguna, pemanfaat, penerima manfaat garam dapur, cabai uleg
bisa menentukan harga jualnya. Ada uang atau dengan uang yang ada beli sesuai
kemampuan bukan mengikuti arus selera. Luasnya Nusantara dan sebaran populasi
sampai pinggiran kota, pojok desa, tepi laut, puncak bukit, kaki langit, pulau
kecil terpencil, perbatasan negara, menjadikan satu barang dengan berbagai
harga.
Apalagi gerakan formal kebangsaan dengan kemasan skala negara, maka rakyat,
masyarakat, penduduk, warga negara yang masuk kategori “tak diharapkan
kelahirannya”, hanya diposisikan, diperankan sebagai penonton pasif.
Andaikata kepala negara berujar, berucap bahwasanya ada pihak yang ingin
mengganti Pancasila dengan ideologi lain, akibat salah menu atau menu harian
politiknya hanya itu. Seolah tak mau direcoki kebutuhan dan kepentingan rakyat.
Maunya dan sudah terbiasa dicekoki menu politik impor, serba asing atau minimal
mengutamakan produk luar yang mampu mendongkrak pamornya.
Aliran, paham atau isme-isme yang hanya pelaku, penganut, loyalis, anteknya
yang tahu, tersedia di meja politik dalam negeri. Siap pakai sesuai kemampuan
kantong, sponsor, donatur, bandar politik, investor politik manca negara.
Wajar kalau kulit tangan rakyat mengeras, kapalan. Terkadang terkelupas,
melepuh, akibat modal tangan. Tak heran jika mulut sekelompok oknum penyelenggara
negara ada yang menebal, mengeras, kapalan – yang mendukung tampilan muka badak.
[HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar