habis manis sepah ideologi didaur ulang
NKRI dengan kepemimpinan nasional Jokowi plus/minus JK semakin berbangga
hati, besar kepala, tepuk dada tanya selera, karena merasa bisa menjadi negara
multipartai.
Pasal hukum di NKRI, yang jelas befungsi adalah pasal yang dicari-cari. Makanya
menu politik harian di pasar rakyat mampu saji cepat gado-gado politik. Kategori
asal muasal bahan baku, cara mendapatkan bahan baku, tidak persoalkan. Ramuan haram
yang aromatik mampu mengalahkan derajat kehalalan dalam satu belanga.
Semua menu versi negara manapun bisa disajikan, dihidangkan sesuai daya tampung
kantong. Kuliner yang di negaranya tidak disajikan, di warung politik menjadi
makanan berklas, sajian bergensi. Apalagi para penikmat bukan rakyat biasa.
Pancasila yang konon sejak dirumuskan digadang-gadang jadi ideologi nasional,
jalan kehidupan bangsa, dasar negara yang merdeka, berdaulat dan menjadi tuan
rumah di negeri sendiri, justru oleh “orang dalam”, nak sanes-nya, dijadikan komoditas politik. Menjadi bursa barter
dengan kekuasaan secara demokratis, konstitusional dan merakyat.
Tiap sila dari Pancasila dianggap mampu berdiri sendiri. Mampu menghadirkan
roh, semangat, jiwa keindonesiaan dalam segala warna politik. Posisi strategis
NKRI malah menjebak anak bangsa untuk memilih berada di kutub mana, untuk
berpihak pada negara adidaya yang mana.
Polulasi penduduk urutan keempat dunia, bukan jaminan NKRI mampu dianggap,
betaji di pentas dunia. Karena menunggu pihak lain, negara lain memuji
Indonesia yang tak kunjung datang, maka kepala negara mengambil inisiatif
memuji NKRI. Seperti dagelan politik, sudah tidak lucu, tertawa sendiri. Mentertawakan
lucunya diri yang tidak lucu.
Budaya politik Nusantara memang berkarakter kalau produk asing tentu lebih
bermartabat. Akan mendongkrak pesona citra diri. Akan mampu meningkatkan harga
jual. Akan mampu bersaing di laga tandang, bukan sekedar jako kandang. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar