ramuan ajaib revolusi mental vs jurus maut Pancasila
Modus politik periode Jokwo plus minus JK, mudah ditebak
arahnya. Yang sulit diduga mau bergerak kemana. Tergantung siapa yang pegang
alat penggorengan. Telur ceplok bisa digoyang kemana saja. Aroma irama syahwat
politik dibuat menyengat, biat dikira sibuk memikirkan nasib rakyat.
Komoditas politik Jokowi sebagai bahan kampanye pilpres
2014 laku keras. Di awal memang serba menjanjikan, meninabobokan emosi rakyat
yang tak tersalurkan. Hebatnya, bukannya rakyat sebagai penerima manfaat hasil
nyata pembangunan nasional maupun pembangunan nasional di daerah. Memangnya tidak
ada pembangunan oleh pemerintah daerah. Tentu ada kawan.
Di tengah jalan, ternyata tidak hanya banjing loncat yang
ambil kesempatan memanfaatkan kesempitan nurani pejabat publik. Di awal fungsi
penganggaran di kutub wakil rakyat, sudah banyak pihak yang sangat
berkepentingan unjuk muka. Merasa paling berhak menentukan jatah, porsi dan
sebetannya.
Arah angi dan arus politik jelas tidak mengalir ke bawah
atau ke lokasi yang tekanan anginnya rendah. Seperti digiring untuk menuju ke
lembah entah berantah. Tukang tadah sudah siap, bahkan yang bernama negara
adidaya yang betah mengeduk, mengeruk, menggaruk kandungan tambang logam mulia
Nusantara.
Politik dalam negeri yang memakai komponen lokal
Pancasila, tidak mampu menghadang laju intervensi investor politik dari negara
asing. Akhirnya bukan kompromi. Malah bangsa ini menyediakan dirinya,
menyiapkan dirinya untuk jadi budak di negeri sendiri.
Mental pejabat publik semakin sulit dibentuk. Tergantung pengaruh,
kekuatan, potensi pasar mancanegara. Hukum politik, hukum rimba, hukum pasar
mendominasi jalannya pemerintahan.
Pancasila yang sudah diuraiberaikankan secara sistematis satu persatu
sila-silanya, dengan bukan saling berkaitan, akhirnya menjadi alat ampuh untuk
melumpuhkan lawan politik. minimal pihak yang diindikasikan layak dicurigai
sebagai calon optensial “musuh negara”. Hebatnya, yang jelas-jelas nyata batang
hidungnya masuk kategori “musuh rakyat”, bebas berkeliaran sambil teriak
lantang : “Aku Pancasila!!!” Opo tumon.
[HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar