Halaman

Rabu, 14 Juni 2017

jamuan akhir reformasi vs nucuk ngiberaké



jamuan akhir reformasi vs nucuk ngiberaké

Nucuk ngiberaké tegesé wis disuguhi mangan ngombé mulihé isih mbrekat suguhan.

Reformasi yang diawal sepertinya sudah ketebak ada apa, ada udang dibalik batu atau ada skenario pihak tertentu. Saat itu belum ada barisan orang dalam, lingkar pertama maupu relawan.  Bukan itu maksudnya. Maklum lepas dari pingitan Orde Baru selama kalau orang menikah bisa sampai punya cucu.

Beriringan dengan proses merubah UUD NRI 1945, tak bisa dipungkiri Indonesia menjadi negara terbuka bagi semua aliran ideologi. Di era reformasi, bentuk rékonsiliasi bak pedang keadilan. Mau membabat siapa, tergantung si pemegang. Periode 1999-2004 mengawali rekonsiliasi nasional yaitu dengan membentuk undang-undang komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Tugas utama komisi itu, mengusut kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Rekonsiliasi nasional diwujudkan dalam rangka pembangunan nasional, integritas teritorial dan kesatuan bangsa. Untuk mencapainya terdapat banyak tantangan yang harus dihadapi. (situs tempo, Kamis, 22 Maret 2001 | 15:12 WIB)

Berlajut di periode berikutnya, tepatnya di 2009-2014, rekonsiliasi terhadap persoalan masa lalu, semua tokoh yang telah meninggal dunia dan telah membuktikan jasa-jasa serta sumbangsihnya kepada bangsa dan negara layak untuk mendapatkan gelar sebagai pahlawan nasional. (situs kompas, Rabu, 13 Januari 2010 | 02:52 WIB)

Jadi, ujar ki dalang Sobopawon, atas nama kebebasan berpolitik, ada pihak yang ingin menghidupkan geopolitik nasional yan terjadi dari, terdiri atas semua ideologi yang ada di dunia. Mengacu politik dunia, bahwasanya pemenang pemilu legislatif maka otomatis akan menguasai parlemen. Minimal sebagai ketua.

Di sisi internal umat Islam, terlihat tanda-tanda bahwa tangan Allah sudah berdenyut. Akan ada seleksi dengan basis bahasa langit, mana umat Islam sesuai perintah-Nya.

Saya cuplik tulisan Amin Mudzakkir dengan judul “NU, PKI, dan Kemungkinan Rekonsiliasi. Pada alenia :
Pada masa kepresidenan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, pemerintah Indonesia membuat terobosan penting. Secara pribadi Gus Dur meminta maaf kepada para keluarga korban Prahara 1965 dan mengajak semua kalangan, termasuk warga Nahdlatul Ulama (NU) untuk melakukan rekonsiliasi atau islah. Posisi Gus Dur yang selain presiden juga pemimpin NU membuat pernyataan ini sangat berpengaruh. Namun tindakan Gus Dur tersebut banyak disalahpahami termasuk oleh beberapa mantan anggota PKI sendiri. Dengan ajakan rekonsiliasi itu, Gus Dur sejatinya ingin mengingatkan bahwa kita — warga sipil — adalah sama-sama merupakan korban. Tidak ada yang diuntungkan oleh tragedi yang brutal itu kecuali para petualang politik kekuasaan yang membangun karir di atas piramida korban manusia.

Jadi . . . .  [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar