Ayo Anak Indonesia,
Katakan Dengan Martabak
Indonesia memang penuh
dengan apapun yang berbau lokal. Karakter kelokalan bisa tenar menembus pasar
Nusantara. Konon, ada tempat lokal yang dianggap berkhasiat mendatangkan
kekayaan, kekuasaan, kekuatan. Langganannya jelas bukan rakyat papan bawah.
Kalau ada rakyat yang
tampak di lokasi keramat tadi, hanya sebagai pelengkap kesibukan. Minimal berperan
sebagai tukang parkirlah. Atau sebagai pemandu wisata. Tak kurang yang jual
cindera mata atau alat persyaratan untuk berwisata ke tempat keramat penuh
khasiat.
Pemerintah bukannya
kewalahan mengendalikan harga barang. Artinya, barang yang sama karena dijual
di tempat berbeda, otomatis harganya juga tidak sama utawa harganya berbeda. Infrastruktur
dan moda angkutan menjadi penyebab tadi.
Jangan takjub jika “harga
diri” antar penduduk beda lokasi habitat juga jelas tidak bisa disamakan. Muncul
kasta, strata yang puncaknya jelas mengerucut, secara kuantitas terbilang
minimalis. Tidak sampai 1% sebagai masyarakat ekonomi yang kandungan kadar
rupiahnya sama dengan sebagian besar masyarakat sipil atau rakyat papan bawah.
Ada sebagian besar rakyat
NKRI susah payah mendulang rupiah secara harian. Namun di pihak lain, ada
beberapa gelintir anak manusia yang kesulitan “membuang” uangnya. Seolah tumpukan
uangnya tidak ada nomor serinya. Seolah menguasai percetakan uang negara.
Persatuan Indonesia lah
yang diangkat dari benang merah antar kelokalan. Tapi itu terjadi di rakyat
sebagai bahan baku sila-sila di Pancasila.
Semakin meruncing ke
atas, mengerucut, yang notabene tinggal landas, yang semangkin jauh dari
kedekatan dengan rakyat, adalah cikal bakal potensial yang tidak pro-Pancasila.
Pancasila sebagai norma
seolah menjadi penghalang bagi gerakan penguasa, penyelenggara negara, yang
kilahnya hanya sekedar menjaga eksistensinya. Mereka merasa suskes yang diraih,
digapai, diwujudkannya berkat keringat sendiri. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar