Indonesia dan hukum yang
bisa ditimbang
Sumber daya hukum Nusantara tak akan habis dipakai sampai generasi kapan
pun. Bilamana perlu diekspor ke manca negara sebagai bahan baku, dan diolah di
negeranya. Setelah jadi hukum terapan, siap diimpor ke Indonesia dalam kemasan
dunia. Pergantian pemerintahan di NKRI bisa jadi mengagungkan hukum impor.
Selagi aparat penegak hukum masih eksis, dalam berbagai wadah formal yang
sarat kewenangan, dipastikan masih ada obyek hukum yang perlu diwaspadai.
Perwujudan, praktik hukum di Indonesia ibarat tegak payung hukum. Dengan
tegak payung hukum maka tampak jelas di suatu lokasi ada hukum. Soal
kelengkapan sebagai sosok hukum yang utuh, yang laik jalan, yang siap laga
kandang, yang siap diterjunkan ke semua kondisi medan, itu nomor kesekian. Bisa
diatur kemudian.
Alat timbang gantung sebagai lambang supremasi hukum, pemakaiannya
tergantung permintaan pasar hukum dan kekuatan pasar hukum. Keadilan atas nama
hukum, demi hukum, karena hukum bisa diartikan bukan pada pasal yang jadi
acuan. Tetapi lebih kepada siapa pihak yang berperkara. Siapa penggungat, siapa
tergugat. Siapa yang diduga jadi tersangka dan siapa yang patut jadi saksi.
Khazanah hukum positif Indonesia sangat energik, dinamis, fluktuatif. Tidak
tahu apakah hukum yang berlaku di Indoinesia berada di tarikan kanan vs kiri. Tidak
ada info resmi apakah hukum di Indonesia pada posisi condong ke atas atau rebah
ke bawah.
Kita tidak tahu pasti apakah ada perbedaan mendasar antara tindakan “main
hakim sendiri” sebagai hukum jalanan; gebug dulu rembug kemudian; tembak di
tempat agar jangan nantinya jadi “penyanyi” sampai meja hijau.
Lagu lawas dengan tema jual-beli perkara, mafia peradilan, barter pasal
hukum, dan lagu klasik bahwa pihak yang memang berperkara akan bebas. Masih ada
tetek bengek hukum yang harus ditaati. Masih ada lika liku jebakan dan jeratan
hukum yang menanti dan perlu “bimbingan” ahli hukum, aparat penegak hukum. Pihak
yang “kalah berperkara” siap-siap jadi sapi perahan.
Ironis binti miris penegakkan hukum oleh pelapor, penggugat, atau sebutan
lainnya, maunya lapor merasa dirugikan tanpa sengaja, tepatnya “lapor sapi hilang ke pihak berwajib malah kandang-kandangnya ikut hilang”.
Atas nama hukum, demi hukum, dari-oleh-untuk hukum, karena hukum yang
sama-sama sebagai jargon dipakai oleh golongan minoritas (kelas atas) vs golongan
mayoritas (kelas bawah). Golongan minoritas ditengarai sebagai pemegang kendali
ekonomi Nusantara dengan modus formal selalu mengintimidasi, mengekploitasi golongan
mayoritas yang posisinya sesuai stigma underclass
permanent, uneducated people,
atau sebagai rakyat yang tidak diharapkan keberadaannya di kancah politik
nasional. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar