Halaman

Kamis, 08 Juni 2017

Indonesia dan hukum yang bisa ditimbang



Indonesia dan hukum yang bisa ditimbang

Sumber daya hukum Nusantara tak akan habis dipakai sampai generasi kapan pun. Bilamana perlu diekspor ke manca negara sebagai bahan baku, dan diolah di negeranya. Setelah jadi hukum terapan, siap diimpor ke Indonesia dalam kemasan dunia. Pergantian pemerintahan di NKRI bisa jadi mengagungkan hukum impor.

Selagi aparat penegak hukum masih eksis, dalam berbagai wadah formal yang sarat kewenangan, dipastikan masih ada obyek hukum yang perlu diwaspadai.

Perwujudan, praktik hukum di Indonesia ibarat tegak payung hukum. Dengan tegak payung hukum maka tampak jelas di suatu lokasi ada hukum. Soal kelengkapan sebagai sosok hukum yang utuh, yang laik jalan, yang siap laga kandang, yang siap diterjunkan ke semua kondisi medan, itu nomor kesekian. Bisa diatur kemudian.

Alat timbang gantung sebagai lambang supremasi hukum, pemakaiannya tergantung permintaan pasar hukum dan kekuatan pasar hukum. Keadilan atas nama hukum, demi hukum, karena hukum bisa diartikan bukan pada pasal yang jadi acuan. Tetapi lebih kepada siapa pihak yang berperkara. Siapa penggungat, siapa tergugat. Siapa yang diduga jadi tersangka dan siapa yang patut jadi saksi.

Khazanah hukum positif Indonesia sangat energik, dinamis, fluktuatif. Tidak tahu apakah hukum yang berlaku di Indoinesia berada di tarikan kanan vs kiri. Tidak ada info resmi apakah hukum di Indonesia pada posisi condong ke atas atau rebah ke bawah.

Kita tidak tahu pasti apakah ada perbedaan mendasar antara tindakan “main hakim sendiri” sebagai hukum jalanan; gebug dulu rembug kemudian; tembak di tempat agar jangan nantinya jadi “penyanyi” sampai meja hijau.

Lagu lawas dengan tema jual-beli perkara, mafia peradilan, barter pasal hukum, dan lagu klasik bahwa pihak yang memang berperkara akan bebas. Masih ada tetek bengek hukum yang harus ditaati. Masih ada lika liku jebakan dan jeratan hukum yang menanti dan perlu “bimbingan” ahli hukum, aparat penegak hukum. Pihak yang “kalah berperkara” siap-siap jadi sapi perahan.

Ironis binti miris penegakkan hukum oleh pelapor, penggugat, atau sebutan lainnya, maunya lapor merasa dirugikan tanpa sengaja, tepatnya “lapor sapi hilang ke pihak berwajib malah kandang-kandangnya ikut hilang”.

Atas nama hukum, demi hukum, dari-oleh-untuk hukum, karena hukum yang sama-sama sebagai jargon dipakai oleh  golongan minoritas (kelas atas) vs golongan mayoritas (kelas bawah). Golongan minoritas ditengarai sebagai pemegang kendali ekonomi Nusantara dengan modus formal selalu mengintimidasi, mengekploitasi golongan mayoritas yang posisinya sesuai stigma underclass permanent, uneducated people, atau sebagai rakyat yang tidak diharapkan keberadaannya di kancah politik nasional. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar