politik
pengantar tidur vs politik melawan lupa
di halaman 3 Republika Jumat, 18
Juni 2017, memang ada foto dengan penjelasan “PELANTIKAN”. Tidak ada yang
istimewa di foto tsb. Atau kenapa foto itu dipajang, seperti di halaman
lainnya.
Mungkin jika pembaca Republika
ingat di periode sebelumnya , yaitu 2004-2009 dan 2009-2014 aoakah aka nada foto
dengan obyek yang sama, yang tampil di acara kenegaraan , semisal peringatan
Proklamsi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Mungkin oknum ybs karena sesuatu hal
yang tidak bisa atau layak disebutkan terpaksa absen. Soal diwakilkan atau
tidak adalah hak prerogatf ybs.
Politik cerdas yang
dicontohkannya menjadi bahan pertimbangan betapa anak ideologis salah satu
proklamtor seperti ya memang begitulah. Tidak layak untuk dikomentari. Bikin hati
menjadi kotor.
Tak salah jika di periode
2014-2019 mengalir angin surga yang meninabobokan penguasa tunggal parpol juara
umum pemilu legislatif 2014. Merasa tersanjung sampai angan-angan politiknya
semangkin membubung tinggi ke angkasa raya, dirgantara nusantara. Tidak menapak
ke bumi.
Bersyukur bahwa budaya dan
peradaban bangsa kita adalah pemaaf, mudah melupakan tindah tutur dan tingkah
laku orang lain. Terlebih jika rakyat sekedar tahu apa dan bagimana ybs. Hanya merasa
iba dan kasihan. Tidak lebih dan tidak kurang. Lugunya rakyat tidak bisa dikadali
oleh akal-akal politik.
Asupan gizi ideologi tradisional
Nusantara menjadikan anak bangsa gemar menjauhkan diri dari realita kehidupan. Lebih
nyaman berada di habitat yang mengelu-elukannya. Semangkin melupakan jati diri, pesona diri
dan harga diri. Salah, justru malah menonjolkan pesona diri yang sarat dengan
nilai-nilai tanpa nilai.
Aneh, politik cerdas tidak
diwariskan kepada anak keturunan ideologis. Horé. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar