Halaman

Minggu, 18 Juni 2017

ideologi di tangan ahlinya, sebagai alat atau status



ideologi di tangan ahlinya, sebagai alat atau status

Apa ada di NKRI sejak mengenal ideologi atau dengan munculnya partai politik, menyandang profesi : ahli ideologi. Atau dengan tingkatan, jenjang tertentu – bukan pendidikan formal – secara diam-diam teranggap. Rekam jejak yang nyaris hampir seumur hidupnya didedikasikan pada ideologi  atau baca : menjadi anggota sebuah partai politik tanpa pernah pindah haluan. Apalagi membuat dualisme atau dua kubu dalam satu tubuh parpol.

Mitos atau peradaban khas komunitas pemuja ideologi tak ubahnya masyarakat penganut aliran dinamisme atau animisme. Bahkan sampai sekarang masih terasa dalam bentuk restu oknum ketua umum sebuah partai politik. Tradisi cium tangan ke orang semakin membuktikan bukti diri. Di pihak lain, adanya foto di media, betapa pedulinya wakil presiden dan/atau presiden ke sekian, yang dengan merasa penuh wibawa muncul di berbagai acara kenegaraan.

Aroma irama syahwat politik segala aliran; tuah, keramat, berkat atau kutukan reformasi yang dioplos, dikanibal, dirakit dengan ramuan, resep, rumus, formula ideologi kualitas impor.

Demi kepentingan dan kebijakan partai maka laku apapun menjadi halal. Pelaku, pegiat, pekerja partai mendewakan akal, mengangungkan daya akal, sampai kehabisan akal, semata hanya meraih sisi dunia. Prestasi diukur dari keberhasilan dan sukses terukur secara fisik. Padahal sudah suratan sumpah janji dalam mempraktikkan tugas, fungsi dan wewenang sebagai penyelenggara negara.

Dengan modal lema “wenang” bisa dipakai secara konstitusional untuk semua tujuan membuat masyarakat adil, makmur, sejahtera. Karena antara “musuh negara” dengan “musuh rakyat” seolah samar, maka pihak ber-“wenang” legal untuk melakukan apa, bahkan untuk tujuan yang inkonstitusional.  [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar