ideologi di
tangan ahlinya, sebagai alat atau status
Apa ada di NKRI sejak mengenal
ideologi atau dengan munculnya partai politik, menyandang profesi : ahli
ideologi. Atau dengan tingkatan, jenjang tertentu – bukan pendidikan formal –
secara diam-diam teranggap. Rekam jejak yang nyaris hampir seumur hidupnya
didedikasikan pada ideologi atau baca :
menjadi anggota sebuah partai politik tanpa pernah pindah haluan. Apalagi membuat
dualisme atau dua kubu dalam satu tubuh parpol.
Mitos atau peradaban khas
komunitas pemuja ideologi tak ubahnya masyarakat penganut aliran dinamisme atau
animisme. Bahkan sampai sekarang masih terasa dalam bentuk restu oknum ketua
umum sebuah partai politik. Tradisi cium tangan ke orang semakin membuktikan
bukti diri. Di pihak lain, adanya foto di media, betapa pedulinya wakil
presiden dan/atau presiden ke sekian, yang dengan merasa penuh wibawa muncul di
berbagai acara kenegaraan.
Aroma irama syahwat politik
segala aliran; tuah, keramat, berkat atau kutukan reformasi yang dioplos,
dikanibal, dirakit dengan ramuan, resep, rumus, formula ideologi kualitas
impor.
Demi kepentingan dan kebijakan
partai maka laku apapun menjadi halal. Pelaku, pegiat, pekerja partai
mendewakan akal, mengangungkan daya akal, sampai kehabisan akal, semata hanya
meraih sisi dunia. Prestasi diukur dari keberhasilan dan sukses terukur secara
fisik. Padahal sudah suratan sumpah janji dalam mempraktikkan tugas, fungsi dan
wewenang sebagai penyelenggara negara.
Dengan modal lema “wenang” bisa
dipakai secara konstitusional untuk semua tujuan membuat masyarakat adil,
makmur, sejahtera. Karena antara “musuh negara” dengan “musuh rakyat” seolah
samar, maka pihak ber-“wenang” legal untuk melakukan apa, bahkan untuk tujuan
yang inkonstitusional. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar