pasar bebas
vs aliran ideologi bebas
Dengan mengacu berbagai
sumber, yaitu (sumber
: Warta Ekspor Edisi
Januari 2015); Majalah Indikator Nomor
47/Tahun XXVIII/2014; Laporan Tim Dampak ASEAN Economic Community Terhadap
Sektor Industri dan Jasa, Serta Tenaga Kerja di Indonesia. NOMOR
LAP- 10/KF.4/2014; “Menjadi Juara di Era MEA 2015”. Copyright©
2015 by Direktorat Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional, Kementerian
Perdagangan Republik Indonesia; Siapkah Indonesia
Menghadapi Liberalisasi Perdagangan? Oleh Benny Gunawan Ardiansyah, Pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian
Keuangan*.
Maka
secara acak berbasis lema “bebas” jadilah sebuah menu gado-gado ‘bebas’. Selamat
menikmati dan siapkan nafas panjang.
Agenda utama liberalisasi
perdagangan adalah mereduksi hambatan perdagangan (trade barriers) baik untuk barang, jasa, hak
milik intelektual maupun investasi. Dalam perjalanannya, konsep globalisasi
tersebut mengalami perubahan dengan terbentuknya kelompok perdagangan berdasarkan
kedekatan wilayah (integrasi regional) atau berdasarkan skala ekonomi. Implementasi
adanya fenomena tersebut adalah terbentuknya berbagai Free Trade Area (FTA). FTA sebagaimana
diuraikan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) adalah sekelompok
negara yang sepakat dengan penghapusan sebagian besar hambatan perdagangan
dalam bentuk tariff (Bea masuk) dan non-tariff. Tujuan utama pembentukan FTA
adalah menciptakan kemudahan akses pasar yang dapat menjadi peluang sekaligus
ancaman bagi suatu negara. Indonesia telah melakukan berbagai FTA, baik berupa
FTA regional seperti ASEAN FTA (AFTA), ASEAN-China FTA (ACFTA), ASEAN-Korea FTA
(AKFTA), ASEAN-India FTA (AIFTA), ASEAN-Australia-New Zealand FTA (AANZFTA) dan
ASEAN-Japan Comprehensive Economic Partnership (AJCEP) maupun FTA bilateral
seperti Indonesia-Japan Economic Partnership.
Globalisasi dalam bidang
ekonomi ditandai dengan adanya perdagangan bebas. Berbagai bentuk perjanjian
kerja sama ekonomi telah diluncurkan, seperti kerja sama ekonomi Asia Pasifik
(APEC), perdagangan bebas ASEAN (AFTA), kesepatakan perdagangan bebas antara China dengan negara-negara ASEAN
(CAFTA), dan sebagainya termasuk Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Tahun 2015 menjadi
momentum penting bagi ASEAN untuk bisa mengadopsi kebijakan hukum persaingan
nasional masing-masing dalam rangka menjadikan ASEAN sebagai kawasan bebas dari
praktik-praktik monopoli. Diharapkan tahun 2015 nanti, 7 (tujuh) negara anggota
ASEAN akan siap melaksanakannya, seperti Brunei Darussalam, Indonesia, Laos,
Malaysia, Singapura, Thailand dan Vietnam. Sedangkan Kamboja, Filipina dan
Myanmar dalam proses penyempurnaan kebijakan persaingan usaha nasional mereka.
Selain itu, ASEAN tengah mengikuti proses integrasi
kawasan yang lebih luas dengan melibatkan RRT, Jepang, Korea, India, Selandia
Baru, dan Australia. Hal ini dilakukan untuk memperkuat integrasi ekonomi di
kawasan ASEAN yang saat ini di warnai dengan kerja sama baru diantaranya Trans
Pacific Partnership (TPP), serta mulai bergulirnya inisiasi pembentukan Free
Trade Area on Asia Pacific (FTAAP).
Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) adalah bentuk integrasi ekonomi regional yang direncanakan
untuk dicapai pada tahun 2015. Tujuan utama MEA 2015 adalah menjadikan ASEAN
sebagai pasar tunggal dan basis produksi, sebagai pasar dan
basis produksi tunggal (a single market and production base) terdiri dari
beberapa unsur yaitu, yang mana terjadi arus barang, jasa,
investasi dan tenaga terampil, terlatih (skill
labour) yang bebas serta aliran modal yang lebih bebas. MEA mengusung
konsep pasar tunggal dan berbasis produksi yang membebaskan segala hambatan
(baik tarif maupun nontarif).
Kelima komponen inti tersebut kemudian dilengkapi dengan
dua komponen penting lainnya, yaitu sektor integrasi prioritas yang terdiri
dari dua belas sektor (produk berbasis pertanian, transportasi udara, otomotif,
e-ASEAN, elektronik, perikanan, pelayanan kesehatan, logistik, produk
berbasis logam, tekstil, pariwisata, dan produk berbasis kayu) serta sektor
pangan, pertanian, dan kehutanan.
Perdagangan bebas dapat diartikan tidak ada hambatan tarif
(bea masuk 0-5%) maupun hambatan nontarif untuk negara anggota ASEAN. Keterbukaan
yang sangat bebas atas arus modal, akan berpotensi menimbulkan resiko yang
mengancam kestabilan kondisi perkonomian suatu negara. Namun di sisi lain,
pembatasan atas aliran modal akan menghambat ketersediaan kapital yang
dibutuhkan untuk mendorong peningkatan arus perdagangan dan pengembangan pasar
uang.
Saat ini Indonesia
menganut rezim devisa bebas sebagai langkah untuk memperbolehkan pergerakan
modal yang lebih besar. Artinya tidak ada pembatasan bagi para pelaku usaha
baik di dalam maupun luar negeri untuk memasukan modal ke Indonesia atau
mengeluarkan modalnya dari Indonesia. Hal ini berbeda dengan beberapa negara ASEAN
lainnya yang membatasi pergerakan modal untuk keluar dari yurisdiksi mereka.
Salah satu
kesepakatan yang diambil dalam masyarakat ekonomi ASEAN adalah MRA (Mutual
Recognition Agreement), yaitu arus bebas tenaga terampil. MRA
yang telah disepakati yaitu untuk jasa-jasa engineering,
nursing, architectural, surveying qualification, jasa professional
tourism, tenaga medis (mencakup dokter umum dan dokter gigi),
dan jasa akuntan. Kesepakatan ini secara langsung akan memengaruhi sektor
ketenagakerjaan Indonesia. Sektor ini begitu penting untuk diperhatikan
terlebih juga karena diiringi oleh kondisi dan tantangan yang akan dihadapi di
masa depan serta urgensi dalam memengaruhi perekonomian dan kemajuan bangsa.
Perlu disadari bahwa meskipun implementasi MEA telah
dijalankan dan ada kerangka kerjasama MRA, namun demikian bukan berarti setiap
negara destinasi harus secara otomatis mengakui kualifikasi dan kompetensi
tenaga kerja dari negara lain. Ini mengingat masih terdapat masih terdapat
banyak perbedaan standar dari masing-masing negara.
Namun kesepakatan
kerjasama ini juga cenderung dilaksanakan sebagai bentuk proses globalisasi yang
pada dasarnya mengandung dua unsur penting yang saling terkait, yaitu
liberalisasi dan kompetisi. Hal ini ibarat dua sisi mata uang yang dapat
mendatangkan keuntungan besar bagi mereka yang siap dan akan menindas mereka
yang kurang siap ketika tidak dikendalikan serta tidak diarahkan untuk kepentingan
bersama (egoistis negara). Kebebasan ini seharusnya diarahkan bukan untuk
saling berkompetisi tetapi saling bekerjasama antarnegara.
Dengan adanya perdagangan bebas antar negara dimana tidak
terdapat pembatasan terhadap pergerakan tenaga kerja dari negara-negara lain ke
Indonesia, maka dapat diyakinkan bahwa tenaga kerja Indonesia hanya akan
menjadi penonton di negaranya sendiri. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar