ramuan
tradisional Pancasila vs ideologi oplosan, rakitan kualitas impor
Konon, presiden RI menetapkan Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2017
tentang Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila dengan faktor pertimbangan antara lain :
bahwa
dalam rangka altualisasi nilai-nilai pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
perlu dilakukan pembinaan ideologi Pancasila terhadap seluruh penyelenggara negara;
bahwa
program pembinaan ideologi pancasila yang telah dan harus dilakukan perlu kejelasan
arah yang terencana, sistematis, dan terpadu.
Jadi, rakyat tidak boleh iri kalau yang disasar sebagai warga binaan ideologi
Pancasila hanya yang masuk kategori penyelengara negara. Tetapi tidak boleh
bangga jika dalam kehidupan bermasyarakat secara tak langsung telah
mempraktikkan rangkaian sila-sila Pancasila.
Kendati rakyat tidak terlibat langsung dalam urusan kehidupan berbangsa dan
bernegara, bukan berarti tak bisa terkontaminasi efek domino gonjang-ganjing
politik.
Laju kemajuan tekonologi informasi dan komunikasi, yang diformat dan
dipaket bak telpon genggam, menjadikan rakyat mendadak cepar melek tekologi. Tidak
gaptek.
Rakyat, penduduk, warga negara, masyarakat harus ekstra hati-hati. Tidak hanya
ujaran kebencian yang bisa terjaring pasal hukum. Mempunyai pikiran ngeres, sampai ngomong saru, misuhi negoro,
bisa masuk kategori tindak kriminal. Jika pasalnya masih abu-abu, bisa
direkayasa pasal yang mirip, mendekati tuduhan.
Penyelenggara negara karena panggilan tugas yang melampaui batas
kewenangannya, mau tak mau, berurusan dengan urusan dunia internasional. Efek dominonya
nyata, terukur, menerus. Bahasa diplomasi bangsa Indonesia, yang ibarat timnas
sepak bola begitu kebobolan seperti langgan.
Pendidikan politik dan kurikulum politik Nusantara dalam bentuk klas
internasional. Akhirnya menu politik semua aliran ideologi bisa dipesan di
warung politik terdekat. Tidak perlu main sembunyi-sembunyian atau kucing-kucingan
dengan aparat keamanan atau Satpol PP.
Wajar kalau budaya asing bebas melenggang masuk tanpa filter, tanpa sensor,
tanpa karantina sampai pojok desa. Karena konsumennya sampai rakyat papan
bawah. Tak ada kaitannya dengan mengapa regenerasi petani seperti tidak mulus. Kendati
pemerintah Jokowi plus minus JK akan bagi-bagi lahan kepada petani.
Jadi sepertinya Perpres
54/2017 sebagai cara “cuci gudang” atau “cuci tangan” pemerintah. Betapa pedulinya
pemerintah dengan nasib Pancasila karena akibat tekanan politik menjadikan
pemerintah seperti menjadi penyalur tunggal ideologi asing.[HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar