Halaman

Minggu, 04 Juni 2017

Hukum Indonesia Ketinggalan Pasal




Hukum Indonesia Ketinggalan Pasal

Dewi Sri di mata petani Indonesia secara turun temurun dianggap sebagai dewi padi. Pengaruh politisnya bisa menentukan hasil panen. Karena mungkin Dewi Sri tidak berdarah biru, maka kalah pamor dengan sosok Nyi Ratu Loro Kidul yang terkait dengan kerajaan Mataram.

Petani saat itu belum mengenal alih fungsi lahan pertanian.  Walau mungkin sudah menjadi komoditas politik PKI. Menjadi obyek poilitik sesat dan mneysatkan, menjadi barang dagangan untuk mendongkrak modus PKI yang seolah peduli nasib wong cilik.

Saya tidak tahu apakah Dewi Sri “senasib” dengan Dewi Keadilan yang universal, mendunia. Apakah kedua dewi ini hanya sebagai simbol. Lambang bahwa Indonesia mempunyai ketahanan pangan sehingga sanggup swasembada, mandiri dan petani sejahtera.

Bagaimana dengan nasib terkini Dewi Keadilan versi Indonesia. Apakah timbangan, neraca sudah tidak berlaku secara resmi, atau hilang dari pasar hukum. Bagaimana denga nasib pedang keadilan. Yang bermata dua. Yang hanya manjur untuk menusuk ke bawah, membabat “musuh negara” dan “musuh rakyat” yang bertengger di akar rumput.

Kata yang punya cerita, Dewi Keadilan tetap memakai  kain hitam penutup dua matanya. Masih dengan cita-cita awal, makna awal yaitu tidak mau tahu siapa yang berperkara. Mengandalkan pendengaran melalui telinga kanan dan telinga kiri. Telinga kanan spesial untuk mendengarkan keluhan pihak penggugat. Telinga kiri khusus menampung dengar pendapat pihak tergugat.

Akhirnya, dengan alat timbang Dewi Keadilan akan meraba mana yang berat biaya perkaranya. Karena sifatnya persaingan maka lelang ini diulang sampai tiga kali. Kalau score masih imbang, yang tidak mungkin terjadi, akan dilakukan lelang ulang.

Pedang keadilan beralih fungsi mencadi pelindung penguasa. Siap membabat habis, tebang pilih pihak yang tidak se-revolusi mental dengan penguasa. Ketika penguasa kehabisan akal di tengah periode, wajar kalau akhirnya memakai segala cara.

Agar tampak konstitusional di mata dunia internasional, maka  langsung di bawah pimpinan seorang kepala negara, kepala pemerintahan, presiden akan melakukan gerakan membakar habis, minimal membumihanguskan lumbung padi petani agar tikus-tikus anti-pemerintah musnah sampai cindil abangnya.

Membuat terapi kejut dengan mengorbankan pihak tertentu yang patut diduga sebagai cikal bakal “musuh negara” yang otomatis “musuh rakyat”, agar calon pemakar ciut nyalinya.

Akhirnya NKRI secara aklamasi menunjuk langsung Dewi Durga sebagai lambang sukses pesta demokrasi 2019. Aparat keamanan siap loyal pasang badan sebagai pagar betis. Mengamankan jalan mulus revolusi mental. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar