Hukum
Indonesia Ketinggalan Pasal
Dewi Sri di mata petani Indonesia
secara turun temurun dianggap sebagai dewi padi. Pengaruh politisnya bisa
menentukan hasil panen. Karena mungkin Dewi Sri tidak berdarah biru, maka kalah
pamor dengan sosok Nyi Ratu Loro Kidul yang terkait dengan kerajaan Mataram.
Petani saat itu belum mengenal
alih fungsi lahan pertanian. Walau
mungkin sudah menjadi komoditas politik PKI. Menjadi obyek poilitik sesat dan
mneysatkan, menjadi barang dagangan untuk mendongkrak modus PKI yang seolah
peduli nasib wong cilik.
Saya tidak tahu apakah Dewi Sri
“senasib” dengan Dewi Keadilan yang universal, mendunia. Apakah kedua dewi ini
hanya sebagai simbol. Lambang bahwa Indonesia mempunyai ketahanan pangan
sehingga sanggup swasembada, mandiri dan petani sejahtera.
Bagaimana dengan nasib terkini
Dewi Keadilan versi Indonesia. Apakah timbangan, neraca sudah tidak berlaku
secara resmi, atau hilang dari pasar hukum. Bagaimana denga nasib pedang
keadilan. Yang bermata dua. Yang hanya manjur untuk menusuk ke bawah, membabat
“musuh negara” dan “musuh rakyat” yang bertengger di akar rumput.
Kata yang punya cerita, Dewi
Keadilan tetap memakai kain hitam
penutup dua matanya. Masih dengan cita-cita awal, makna awal yaitu tidak mau
tahu siapa yang berperkara. Mengandalkan pendengaran melalui telinga kanan dan
telinga kiri. Telinga kanan spesial untuk mendengarkan keluhan pihak penggugat.
Telinga kiri khusus menampung dengar pendapat pihak tergugat.
Akhirnya, dengan alat timbang
Dewi Keadilan akan meraba mana yang berat biaya perkaranya. Karena sifatnya persaingan
maka lelang ini diulang sampai tiga kali. Kalau score masih imbang, yang tidak
mungkin terjadi, akan dilakukan lelang ulang.
Pedang keadilan beralih fungsi
mencadi pelindung penguasa. Siap membabat habis, tebang pilih pihak yang tidak
se-revolusi mental dengan penguasa. Ketika penguasa kehabisan akal di tengah
periode, wajar kalau akhirnya memakai segala cara.
Agar tampak konstitusional di
mata dunia internasional, maka langsung
di bawah pimpinan seorang kepala negara, kepala pemerintahan, presiden akan
melakukan gerakan membakar habis, minimal membumihanguskan lumbung padi petani
agar tikus-tikus anti-pemerintah musnah sampai cindil abangnya.
Membuat terapi kejut dengan
mengorbankan pihak tertentu yang patut diduga sebagai cikal bakal “musuh
negara” yang otomatis “musuh rakyat”, agar calon pemakar ciut nyalinya.
Akhirnya NKRI secara aklamasi
menunjuk langsung Dewi Durga sebagai lambang sukses pesta demokrasi 2019.
Aparat keamanan siap loyal pasang badan sebagai pagar betis. Mengamankan jalan
mulus revolusi mental. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar