Halaman

Senin, 26 Juni 2017

perjuangan usia ibu sarat rasa keibuan



perjuangan usia ibu sarat rasa keibuan


Rasa keibuan (tepatnya, ibu isteriku, eyang puteri ketiga anakku, eyang buyut cucuku) semakin ter-(asah, asih, asuh) dengan daya juang pengabdiannya sebagai guru klas 1 SD. Tidak ada yang antar, terpaksa anak kedua yang saat itu harus masuk TK, menemani ibunya mengajar murid di klas 1.

Kenaikan klas, kebijakan kepala sekolah menaikkan anak kedua bu guru ke klas 2 SD. Tanpa ada rapor klas 1. Tak sampai 20 tahun kemudian, sudah kehendak-Nya jika anak kedua bu guru tadi menjadi pendamping hidupku. Sebagai fresh graduate IPB ditempuh tepat waktu dan diterima lewat seleksi rapor SMA.

Tahun 2017 ini, ibu memasuki usai berkepala delapan. Kendati lama pensiun. Bahkan jelang pensiun teman sesama guru seusia anak keduanya. Kedekatan dengan anak didik yang baru mengenal calistung (baca, tulis, hitung) menjadikan ibu bisa tahu banyak watak anak.

Ke-guru-an ibu dirumah seolah teruji dengan 9 anak (7 perempuan dan 2 pria) yang menjadi tanggung jawab bersama suami yang juga guru. Beda strata dengan suami yang guru Sekolah Teknik Atas. Hobi mendidik atau mengajar, menular atau menurun ke anak pertama yang adalah lelaki. Beda jalur, sebagai dosen.

Ibu tetap peduli dengan nasib pendidikan cucunya. Semua anaknya sudah melewati pendidikan tinggi. Jika ada sang cucu agak tertatih-tatih memilih jalur pendidikan, ibu merasa prihatin. Sayang cucu menjadikan kadar prihatin ibu terhadap pendidikan cucunya melebihi kepedulian ortu sang cucu.

Tak jarang ibu terbawa arus emosi melihat perjalanan cucunya, apalagi yang masih balita. Terlebih dengan sang cucu yang telah yatim. Masa mencari sekolah, khususnya bagi sang cucu yang lulus SMA/SMK menjadikan ibu ikut sport jantung.

Mungkin ibu merasa keberhasilan sebagai “guru di rumah”, jika anak cucunya bisa sukses pendidikannya. Bisa calistung sampai strata yang tersedia di tanah air.

Sejak 1998 ibu menjadi pengelola tunggal keluarga besar trah, silsilahnya. Pasang surut kehidupan rumah tangga sembilan anaknya tak pernah luput dari pantauannya. Lebaran syawalan pasca Ramadhan menjadi ajang temu dan silaturahmi anak keturunannya. Akhir Ramadhan 1437 H, ibu terkena serangan stroke dan agak terlambat ketahuannya. Biasanya jelang sahur ibu terbangun. Saat itu tidak keluar dari kamarnya. Upaya medis diberlakukan sampai sekarang, sampai meliwati akhir Ramadhan 1438 H.

Ibu menghabiskan waktunya, hari demi hari, tergolek di atas tempat tidur. Anak nomor tiga yang merawatnya. Gantian tempat tinggal di antara dua keluarga anak perempuannya.

Dalam diam tergoleknya. Pendengaran ibu masih berfungsi. Bahkan radar hatinya semakin peka. Ibu tetap dengan kadar rasa keibuannya, diperkuat dengan nuansa sebagai hamba-Nya. Keberadaan ibu sebagai pemersatu anak keturunannya, sangat dirasakan. Bukan karena kesembilan anaknya tidak bisa “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi”. Penyebabnya sederhana saja, yaitu sayang anak berlanjut dan berkembang menjadi sayang cucu, sayang buyut.

Ibu yang “bu guru” yang selamanya tetap jagi guru. Hati kecilnya tak bisa menerima kenyataan jika anak muridnya, anak didiknya, anak keturunannya belum seusai dengan harapan, cita-cita dan tuntutan “tujuan pendidikan nasional”. Yaitu mensejahterakan kecerdasan anak melalui pendidikan formal dan pengajaran maupun faktor ajar di keluarga sebagai madrasah/sekolah utama dan pertama bagi anak. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar