ketika
penguasa tak kuasa mengendus praktik anti-Pancasila
Globalisasi dalam bidang
ekonomi ditandai dengan adanya perdagangan bebas. Berbagai bentuk perjanjian
kerja sama ekonomi telah diluncurkan, seperti kerja sama ekonomi Asia Pasifik
(APEC), perdagangan bebas ASEAN (AFTA), kesepatakan perdagangan bebas antara China dengan negara-negara ASEAN (CAFTA),
dan sebagainya termasuk Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Kerja sama pada hakikatnya menuntut dan mengikat adanya
penyesuaian kepentingan dari suatu negara dengan kepentingan negara lain yang
lebih “besar dan luas” atau yang lebih dominan. Perjanjian tersebut memaksa,
bahkan mendikte suatu negara membuka diri sebagai pangsa pasar, sebagai tempat
dan tujuan pembuangan sisa produk dengan dalih asas perdagangan bebas. Cara ini
ibarat penyelundupan legal. Efek dominonya, secara tidak langsung menjadi
kendala untuk negara sedang berkembang saat mengembangkan sektor produksinya. Harga
jual produk dalam negeri kalah bersaing dengan produk masal asing dengan
teknologi yang lebih canggih.
Di negara manapun selalu
terjadi gerakan (pelaku) ekonomi lebih dominan daripada gerakan politik. Peta ekonomi
negara adidaya menunjukkan pergerakan pelaku ekonomi dunia dan skenario suku
bangsa lain.
Apakah gerakan formal kebangsaan, ketahanan bangsa,
wawasan kebangsaan dengan kemasan skala negara, maka rakyat, masyarakat,
penduduk, warga negara yang masuk kategori “tak diharapkan kelahirannya”, hanya
diposisikan, diperankan sebagai penonton pasif.
Andaikata kepala negara berujar,
berucap, bertindak tutur bahwasanya ada pihak yang ingin mengganti Pancasila
dengan ideologi lain, akibat salah menu atau menu harian politiknya hanya itu.
Seolah tak mau direcoki kebutuhan dan kepentingan rakyat. Maunya dan sudah
terbiasa dicekoki menu politik impor, serba asing atau minimal mengutamakan
produk luar yang mampu mendongkrak pamornya.
Ingat adanya Petisi-50 di zaman
Orde Baru, apakah sebagai praktik anti-Pancasila. Sejarah yang ditulis oleh
penguasa tentu beda dengan fakta kejadian perkara.
Mengapa Jokowi plus minus JK
seolah tak mampu mengendus praktik anti-Pancasila.
Kalau dalam permainan sepakbola,
lawan jelas kita hadapi. Saling berebut bola. Perampok teriak maling, menjadi
modus praktik anti-Pancasila. Di belakang, minimal sekitar Jokowi plus minus
JK, berjajar oknum anti-Pancasila. Mereka tidak secara frontal berhadapan
dengan Pancasila. Mereka masuk melalui celah dan titik lemah bangsa. Melebihi modus
pemurtadan agama atau balik nama akidah dengan iming-iming surga dunia.
Artinya, walau bukan hasil survei
pesanan, bahwa operasi senyap praktik anti-Pancasila.adalah dengan masuk ke
sistem lawan. seolah menjadi bagian integral.
Kebetulan atau memang sudah suratan
sejarah, ada oknum atau pihak yang keceplosan dengan modus penistaan agama
lain. Seolah malah menjadi bagian dari kerja pemerintah untuk sukses pesta
demokrasi 2019. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar