Halaman

Kamis, 15 Juni 2017

ketika penguasa tak kuasa mengendus praktik anti-Pancasila



ketika penguasa tak kuasa mengendus praktik anti-Pancasila

Globalisasi dalam bidang ekonomi ditandai dengan adanya perdagangan bebas. Berbagai bentuk perjanjian kerja sama ekonomi telah diluncurkan, seperti kerja sama ekonomi Asia Pasifik (APEC), perdagangan bebas ASEAN (AFTA), kesepatakan perdagangan bebas antara China dengan negara-negara ASEAN (CAFTA), dan sebagainya termasuk Masyarakat Ekonomi ASEAN.  

Kerja sama  pada hakikatnya menuntut dan mengikat adanya penyesuaian kepentingan dari suatu negara dengan kepentingan negara lain yang lebih “besar dan luas” atau yang lebih dominan. Perjanjian tersebut memaksa, bahkan mendikte suatu negara membuka diri sebagai pangsa pasar, sebagai tempat dan tujuan pembuangan sisa produk dengan dalih asas perdagangan bebas. Cara ini ibarat penyelundupan legal. Efek dominonya, secara tidak langsung menjadi kendala untuk negara sedang berkembang saat mengembangkan sektor produksinya. Harga jual produk dalam negeri kalah bersaing dengan produk masal asing dengan teknologi yang lebih canggih.

Di negara manapun selalu terjadi gerakan (pelaku) ekonomi lebih dominan daripada gerakan politik. Peta ekonomi negara adidaya menunjukkan pergerakan pelaku ekonomi dunia dan skenario suku bangsa lain.

Apakah  gerakan formal kebangsaan, ketahanan bangsa, wawasan kebangsaan dengan kemasan skala negara, maka rakyat, masyarakat, penduduk, warga negara yang masuk kategori “tak diharapkan kelahirannya”, hanya diposisikan, diperankan sebagai penonton pasif.

Andaikata kepala negara berujar, berucap, bertindak tutur bahwasanya ada pihak yang ingin mengganti Pancasila dengan ideologi lain, akibat salah menu atau menu harian politiknya hanya itu. Seolah tak mau direcoki kebutuhan dan kepentingan rakyat. Maunya dan sudah terbiasa dicekoki menu politik impor, serba asing atau minimal mengutamakan produk luar yang mampu mendongkrak pamornya.

Ingat adanya Petisi-50 di zaman Orde Baru, apakah sebagai praktik anti-Pancasila. Sejarah yang ditulis oleh penguasa tentu beda dengan fakta kejadian perkara.

Mengapa Jokowi plus minus JK seolah tak mampu mengendus praktik anti-Pancasila.

Kalau dalam permainan sepakbola, lawan jelas kita hadapi. Saling berebut bola. Perampok teriak maling, menjadi modus praktik anti-Pancasila. Di belakang, minimal sekitar Jokowi plus minus JK, berjajar oknum anti-Pancasila. Mereka tidak secara frontal berhadapan dengan Pancasila. Mereka masuk melalui celah dan titik lemah bangsa. Melebihi modus pemurtadan agama atau balik nama akidah dengan iming-iming surga dunia.

Artinya, walau bukan hasil survei pesanan, bahwa operasi senyap praktik anti-Pancasila.adalah dengan masuk ke sistem lawan. seolah menjadi bagian integral.

Kebetulan atau memang sudah suratan sejarah, ada oknum atau pihak yang keceplosan dengan modus penistaan agama lain. Seolah malah menjadi bagian dari kerja pemerintah untuk sukses pesta demokrasi 2019. [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar