Halaman

Minggu, 25 Juni 2017

membangun Indonesia dari pinggiran vs melego NKRI dari DKI Jakarta



membangun Indonesia dari pinggiran vs melego NKRI dari DKI Jakarta


Status reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta secara hukum dalam kondisi menunggu putusan hukum tetap. Akhirnya, rakyat Indonesia hanya bisa berangan-angan betapa arti kekuatan hukum, bagaimana praktik hukum di tegakkan. Ketika yang menjadi obyek hukum adalah rakyat biasa, hukum begitu perkasa, digdaya, tanpa pandang bulu. Proses hukum tidak bertele-tele. Hukum seperti diuji ketika obyek hukum adalah penyelenggara negara, pemerintah provinsi, bahkan sebagai ibu kota NKRI.

Kasus pembangunan pulau buatan ini bersifat dilematis, bak makan buah simalakama. Dilanjutkan, rakyat kecil yang nelayan akan jadi korban. Lingkungan akan terdegradasi secara sistematis, menerus. Sekaligus aspek hukum, aspek lingkungan, aspek teknis menjadi korban sia-sia. Tidak dilanjutkan, atau berhenti total, memang masuk kategori mangkrak. Pihak yang ingin membangun gerbang naga, kawasan pecinan Nusantara, atau sebutan fungsi lainnya, dipastikan tidak akan diam seribu bahasa. Mereka, gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017 dan kawanan pendukungnya, akan melakukan reaksi, aksi secara konstitusional. Tepatnya ada konspirasi terselubung.

Kasus reklamasi pantai utara Jakarta bisa masuk kategori menambah kawasan pecinan. Bukan tidak mungkin lahan hasil reklamasi menjelma menjadi kawasan khusus yang jauh dari sentuhan masyarakat awam.

Proses reklamasi membutuhkan banyak uang. Jangan heran jika kota kecil di dalamnya bernilai komersial jauh di atas angan-angan rakyat kecil. Proyek reklamasi dinilai jauh lebih penting dibandingkan nasib nelayan Jakarta yang semakin kesulitan mencari ikan. Proyek ini sudah pasti akan mengorbankan lingkungan dan sumber daya manusia. 

Peta politik nasional versi politisi “berbaju sipil” mengalami salah langkah yang fatal, dikarenakan hasil putaran kedua pilkada gubernur Jakarta, rabu 19 April 2017, di luar skenario mereka. Bandar politik atau investor politik dari negara paling bersahabat tentu tetap tak mau rugi. Mereka akan gigih menuntut kepada “kawan partai” yang selama ini sudah dibibit, dielus-elus, dinonabobokan untuk menguasai  NKRI  dimulai dengan menguasai jantungnya.

NKRI sudah semakin jauh tenggelam, terjebak, terperosok ke dalam ikatan moral perjanjian ideologi bilateral dengan negara paling bersahabat. Mau tak mau akhirnya NKRI harus memakai teknologi ideologi, bahan baku ideologi dan barisan sumber daya manusia seadanya dari negara yang katanya paling bersahabat.  [HaèN]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar