membangun
Indonesia dari pinggiran vs melego NKRI dari DKI Jakarta
Status reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta secara hukum dalam kondisi
menunggu putusan hukum tetap. Akhirnya, rakyat Indonesia hanya bisa
berangan-angan betapa arti kekuatan hukum, bagaimana praktik hukum di tegakkan.
Ketika yang menjadi obyek hukum adalah rakyat biasa, hukum begitu perkasa,
digdaya, tanpa pandang bulu. Proses hukum tidak bertele-tele. Hukum seperti
diuji ketika obyek hukum adalah penyelenggara negara, pemerintah provinsi,
bahkan sebagai ibu kota NKRI.
Kasus pembangunan pulau buatan ini bersifat dilematis, bak makan buah
simalakama. Dilanjutkan, rakyat kecil yang nelayan akan jadi korban. Lingkungan
akan terdegradasi secara sistematis, menerus. Sekaligus aspek hukum, aspek
lingkungan, aspek teknis menjadi korban sia-sia. Tidak dilanjutkan, atau
berhenti total, memang masuk kategori mangkrak. Pihak yang ingin membangun
gerbang naga, kawasan pecinan Nusantara, atau sebutan fungsi lainnya,
dipastikan tidak akan diam seribu bahasa. Mereka, gubernur DKI Jakarta periode
2012-2017 dan kawanan pendukungnya, akan melakukan reaksi, aksi secara
konstitusional. Tepatnya ada konspirasi terselubung.
Kasus reklamasi
pantai utara Jakarta bisa masuk kategori menambah kawasan pecinan. Bukan tidak
mungkin lahan hasil reklamasi menjelma menjadi kawasan khusus yang jauh dari
sentuhan masyarakat awam.
Proses reklamasi
membutuhkan banyak uang. Jangan heran jika kota kecil di dalamnya bernilai
komersial jauh di atas angan-angan rakyat kecil. Proyek reklamasi dinilai jauh
lebih penting dibandingkan nasib nelayan Jakarta yang semakin kesulitan mencari
ikan. Proyek ini sudah pasti akan mengorbankan lingkungan dan sumber daya
manusia.
Peta politik nasional versi politisi “berbaju sipil” mengalami salah
langkah yang fatal, dikarenakan hasil putaran kedua pilkada gubernur Jakarta,
rabu 19 April 2017, di luar skenario mereka. Bandar politik atau investor
politik dari negara paling bersahabat tentu tetap tak mau rugi. Mereka akan
gigih menuntut kepada “kawan partai” yang selama ini sudah dibibit,
dielus-elus, dinonabobokan untuk menguasai
NKRI dimulai dengan menguasai
jantungnya.
NKRI sudah semakin jauh tenggelam, terjebak, terperosok ke dalam ikatan
moral perjanjian ideologi bilateral dengan negara paling bersahabat. Mau tak
mau akhirnya NKRI harus memakai teknologi ideologi, bahan baku ideologi dan
barisan sumber daya manusia seadanya dari negara yang katanya paling bersahabat.
[HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar