fitnah dunia itu bernama isu pinggiran
Memang wajarlah kalau orang mudah curiga dan mencurigai orang lain. Bahkan tanpa
alasan yang masuk akal siapapun. Penyebabnya berbasis kejiwaan yaitu kurang
merasa mempunyai rasa percaya diri. Tapi tipe orang seperti ini masuk kategori
jujur. Dia tahu dirinya yang sebenarnya seperti apa. Tahu siapa jati diri
sebenarnya, tanpa embel-embel, tanpa atribut duniawi.
Bukan membandingkan, tetapi mencoba meluruskan rasa curiga pada fenomena
lapangan. Betapa premotor, karena usia belum berhak memilik SIM C. Namun seolah
berhak menjadi raja jalanan. Saat melihat poltas yang sedang berteduh, muncul
rasa curiga yang beralasan. Identik dengan pemotor tanpa surat lengkap, atau merasa
tanpa kelengkapan syarat aman bagi dirinya dan orang lain. Begitu jauh di
depan, ada kawanan poltas sedang makan di warung pingir jalan, naluri
selamatkan diri masing-masing mulai menggelitik.
Hanya orang gila, kurang waras, sinting, kurang ingatan yang merasa bebas. Merasa
bisa berbuat apa saja, kapan saja, dimana saja. Memang hukum manusia mauun
hukum Allah tidak berlaku.
Kembali ke bumi, ke zaman periode 2014-2019, entah seberapa sedikit penyelenggara
negara yang daya ingat ideologi secara alami mengalami gangguan, degradasi
sesuai kemajuan peradaban.
Di éra mégatéga, mégakasus, mégabencana tak heran kawanan pelaku, pegiat, penyuka, pemain,
petugas partai mengalami disoriéntasi politik. Bahkan seklas kepala negara, malah bangga dengan stadium disoriéntasi politiknya.
Sang kepala negara merasa mempunyai
kemampuan menerawang siapa saja lawan politik, pihak yang layak dicurigai
sebagai “musuh negara” sekaligus “musuh rakyat”. Tidak perlu bantuan BIN atau
laporan sesaat dan sesat serta menyesatkan dari aparat keamanan.
Hebatnya lagi, rasa curiga akibat
angan-angan politiknya yang sedang mengalami gonjang-ganjing dirumuskan secara
formal menjadi isu pinggiran. Menebar fitnah untuk mendongkrak ditra diri. [HaèN]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar